Rabu, 20 April 2011

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN ANAK




UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1997

TENTANG

PENGADILAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Menimbang :

a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang ;

b. Bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus;

c. Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan Pasal 8 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pengkhususan pengadilan anak berada dilingkungan peradilan umum dan dibentuk dengan UU;

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c, perlu membentuk UU tentang peradilan anak.



Mengingat :

1.   Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945;
2. UU NO. 14 Tahun 1970 tentang Penentuan-penentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ( Lembaran Negara Tahun 1970 No. 74, Tambahan Lembaran Negara NO. 2951 );

3. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum ( Lembaran Negara Tahun 1986 No. 20, Tambahan Lembaran Negara No. 3327 ).

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN ANAK

BAB I

KETENTUAN UMUM


Pasal 1


Dalam Undang-undang ini yang dimaskud dengan :

1.    Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2.    Anak Nakal adalah :
a.  Anak yang melakukan tindak Pidana; atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundangundangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

3.    Anak didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan adalah anak didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

4.    Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa dirumah Tahanan Negara, cabang rumah Tahanan Negara atau ditempat tertentu.

5.    Penyidik adalah Penyidik anak.

6.    Penuntut Umum adalah Penuntut Umum Anak

7.    Hakim adalah hakim anak

8.    Hakim Banding adalah hakim banding anak.

9.    Hakim Kasasi adalah Hakim kasasi anak.

10.   Orangtua Asuh adalah Orang yang secara nyata mengasuh anak, selaku orangtua terhadap anak.

11.   Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada balai pemasyarakatan yang melakukan bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

12. Organisasi Sosial Kemasyarakatan adalah organisasi masyarakat yang mempunyai perhatian khusus kepada masalah Anak Nakal.

13.   Penasihat Hukum adalah penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Secara Pidana.

Pasal 2


Pengadilan Anak adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada dilingkungan Peradilan Umum.

Pasal 3


Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, mengutuskan, dan menyelesaikan perkara anak sebagimana ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 4


(1)   Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

(2)   Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetap diajukan ke Sidang Anak.

Pasal 5


(1)   Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.

(2)   Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orangtua, wali, atau orangtua asuh, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya.

(3)   Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orangtua, wali, atau orangtua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal 6


Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai Toga atau pemakaian dinas.

Pasal 7


(1)   Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa ke sidang bagi orang dewasa.

(2)   Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesiadiajukan ke Sidang Anak, sedangkan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer.

Pasal 8


(1)   Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.

(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam sidang terbuka.

(3)   Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orangtua, wali, atau orangtua asuh, penasihat hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.

(4)   Selain mereka yang disebut dalam ayat (3) orang-orang tertentu atas ijin hakim atau mejelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(5)   Pemberitaan mengenai perkara anak melalui sejak penyidikan sampai saat sebelum mengucapkan putusan pengadilan menggunakan sidang singkatan dari nama anak, orangtua, wali, atau orangtua asuhnya.

(6)   Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapakan dalam sidang terbuka untuk umum.

BAB II
HAKIM DAN WEWENANG SIDANG ANAK

Bagian Pertama
Hakim

Pasal 9


Hakim ditetapkan berdasarkan surat keputusan Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui ketua Pengadilan Tinggi.

Pasal 10


Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah :

a. Telah berpengalaman sebagai Hakim dipengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; dan

b.  Mempunyai minat, perhjatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

Pasal 11


(1)   Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai Hakim Tunggal.

(2)   Dalam hal tertentu dapat dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.

(3)   Hakim dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera pengganti.

Bagian Kedua
Hakim Banding

Pasal 12


Hakim Banding ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan .

Pasal 13


Syarat-syarat yang berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku pula untuk Hakim Banding.

Pasal 14


(1)   Hakim Banding memeriksa dan memutuskan perkara anak dalam tingkat banding sebagai hakim tunggal.

(2)   Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, ketua Pengadilan Tinggi dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.

(3)   Hakim banding dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti.

Pasal 15


Ketua Pengadilan Tinggi memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya peradilan didalam daerah hukumnya agar Sidang Anak diselenggarakan sesuai dengan undang-undang ini.

Bagian Ketiga
Hakim Kasasi

Pasal 16


Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENGGUNAAN KEKUATAN DALAM TINDAKAN KEPOLISIAN

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
MARKAS BESAR



PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2009
TENTANG
PENGGUNAAN KEKUATAN
DALAM TINDAKAN KEPOLISIAN


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


Menimbang : a. Bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan
alat Negara yang berperan dalam memeliahara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindunfan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri;
b. bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas di lapangan sering dihadapkan pada
situasi, kondisi atau permasalahan yang mendesak, sehingga
perlu melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan
kepolisian;
c. bahwa pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan
kepolisian harus dilakukan dengan cara yang tidak
bertentangan denga aturan hokum, selaras dengan
kewajiban hokum dan tetap menghormati/menjunjung tinggi
hak asasi manusia;
d. bahwa untuk dijadikan pedoman bagi anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugas di
lapangan tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan

Polda Sumsel 2009 Page 1


kepolisian, perlu ditentukan standard an cara-cara yang
dapat dipertanggungjawabkan;

e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
tentang penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Negara republic Indonesia Nomor 4168);

2.
Keputusan Presiden Nomor 70 tahun 2002 tentang
Organisasi dan tata Kerja Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TENTANG PENGGUNAAN KEKUATAN DALAM
TINDAKAN KEPOLISIAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :

1.
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri
adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hokum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
2.
Tindakan Kepolisian adalah upaya paksa dan/ atau tindakan lain yang
dilakukan secara bertanggug jawab menurut hokum yang berlaku untuk
mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang
mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa raga, harta benda atau
kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hokum serta
terbinanya ketentraman masyarakat.
Polda Sumsel 2009
Page 2


3.
penggunaan kekuatan adalah segala penggunaan/pengerahan daya, potensi
atau kemampuan anggota Polri dalam rangka melaksanakan tindakan
kepolisian.
4.
Mempertahankan diri dan / atau masyarakat adalah tindakan yang diambil
oleh anggota Polri untuk melindungi diri sendiri arau masyarakat, atau harta
benda atau kehormatan kesusilaan dari bahaya yang mengancam secara
langsung.
5.
Tindakan pasif adalah tindakan seseorang atau kelompok orang yang tidak
mencoba menyerang, tetapi tindakan mereka mengganggu atau dapat
mengganggu ketertiban masyarakat atau keselamatan masyarakat, dan tidak
mengindahkan perintah anggota Polri untuk menghentikan perilaku tersebut.
6.
Tindakan aktif adalah tindakan seseorang atau kelompok orang untuk
melepaskan diri atau melarikan diri dari anggota Polri tanpa menunjukkan
upaya menyerang anggota Polri.
7.
Tindakan agresif adalah tindakan seseorang atau kelompok orang untuk
menyerang anggota Polri, masyarakat, harta benda atau kehormatan
kesusilaan.
Pasal 2

(1)
Tujuan Peraturan ini adalah untuk memberi pedoman bagi anggota Polri
dalam pelaksanaan tindakan kepolisian yang memerlukan penggunaan
kekuatan, sehingga terhindar dari penggunaan kekuatan yang berlebihan
atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
(2)
Tujuan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian adalah :
a.
mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku
kejahatan atau tersangka yang sedang berupaya atau sedang
melakukan tindakan yang bertentangan dengan hokum;
b.
mencegah pelaku kejahatan atau tersangka melarikan diri atau
melakukan tindakan yang membahayakan anggota Polri atau
masyarakat;
c.
melindungi diri atau masyarakat dari ancaman perbuatan atau
perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menimbulkan
luka parah atau mematikan; atau
d.
melindungi kehormatan kesusilaan atau harta benda diri sendiri atau
masyarakat dari serangan yang melawan hak dan . atau mengancam
jiwa manusia.
Polda Sumsel 2009
Page 3


Pasal 3

Prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian meliputi :

a.
legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan
hokum yang berlaku;
b.
nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila
memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang
dihadapi;
c.
proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus
dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat
kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan
kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan;
d.
kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan untuk
bertindak atai tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga,
memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum;
e.
preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan
pencegahan;
f.
masuk akal ( reasonable ), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil
dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman
atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahanya terhadap
masyarakat.
Pasal 4

Ruang lingkup peraturan ini meliputi :

a.
penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukan oleh
anggota Polri sebagai individu atai individu dalam ikatan kelompok;
b.
Tahapan dan pelatihan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian;
c.
Perlindungan dan bantuan hokum serta pertanggungjawaban berkaitan
dengan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian;
d.
Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuatan dalam tindakan
kepolisian;
e.
Tembakan peringatan.
Polda Sumsel 2009
Page 4


BAB II
PENGGUNAAN KEKUATAN


Bagian Kesatu
Tahapan


Pasal 5


(1)
Tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian terdiri dari :
a.
tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak ctete/ren^encegahan;
b.
tahap 2 : perintah lisan;
c.
tahap 3 : kendali tangan kosong lunak;
d.
tahap 4 : kendali tangan kosong keras;
e.
tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air
mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri;
f.
tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang
menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka
yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau
anggota masyarakat.
(2)
Anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku
kejahatan atau tersangka dengan memperhatikan prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Bagian Kedua
Pelaksanaan


Pasal 6


Tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a dan huruf b dilaksanakan dengan kehadiran anggota Polri yang dapat
diketahui dari :

a.
seragam atau rompi atau jaket yang bertuliskan POLISI yang dikenakan oleh
anggota Polri;
Polda Sumsel 2009
Page 5


b. kendaraan dengan tanda Polri;
c. lencana kewenangan Polisi; atau
d. pemberitahuan lisan dengan meneriakkan kata “ POLISI “
Pasal 7
(1) Pada setiap tahapan penggunaan kekuatan yang dilakukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diikuti dengan komunikasi
lisan/ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan
untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.
(2) Setiap ingakatan bahaya ancaman terhadap anggota Polri atau masyarakat
dihadapi dengan tahapan penggunaan kekuatan sebagai berikut :
a. tindakan pasif dihadapi dengan kendali tangan
sebagimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c;
kosong lunak
b. tindakan aktif dihadapi dengan kendali tangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) hurf d;
kosong keras
c. tindakan agresuf dihadapi dengan kendali senjata tumpul, senjata
kimia antara lain gas air mata atau semprotan cabe, atau alat lain
sesuai standar Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf e;
d. tindakan agresif yang bersifat segera yang dilakukan oleh pelaku
kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau
kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri
atau masyarakat atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan
umum, seperti: membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu
listrik, meledakkan gudang senjata/amunisi, atau menghancurkan
objek vital, dapat dihadapi dengan kendali senjata api atau alat lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f.
Pasal 8
(1) Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d dilakukan ketika :
lain
a. tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera
menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau
masyarakat;

Polda Sumsel 2009 Page 6


b.
anggota Polri tidak memiliki alternative lain yang beralasan dan masuk
akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau
tersangka tersebut;
c.
anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau
tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota
Polri atau masyarakat.
(2)
Penggunaan kekuatan dengan senjata api atau alat lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya terakhir untuk menghentikan
tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.
(3)
Untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang
merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan penggunaan kendali
senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan atau perintah lisan.
Pasal 9

Penggunaan senjata api dari dank e arah kendaraan yang bergerak atau kendaraan
yang merikan diri diperbolehkan, dengan kehati-hatian yang tinggi dan tidak
menimbulkan resiko baik terhadap diri anggota Polri itu sendiri maupun masyarakat.

Pasal 10

Dalam hal penggunaan senjata api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf d, Pasal 8 dan pasal 9, anggota Polri harus memiliki kualifikasi sesuai
ketentuan yang berlaku.

BAB III
PELATIHAN


Pasal 11


(1)
Anggota Polri sebagaimana sebelum melaksanakan tindakan kepolisian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus mendapatkan pelatihan
dari kesatuan pusat atau wilayah.
(2)
Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didukung sarana dan
prasarana yang dirancang sesuai dengan standar pelatihan Polri.
Polda Sumsel 2009
Page 7


BAB IV


PERLINDUNGAN DAN BANTUAN HUKUM
SERTA PERTANGGUNGJAWABAN


Pasal 12


(1)
Anggota Polri yang menggunakan kekuatan dalam pelaksanaan tindakan
kepolisian sesuai dengan prosedur yang berlaku berhak mendapatkan
perlindungan dan bantuan hokum oleh Polri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Hak anggota Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh
institusi Polri.
Pasal 13

(1)
Setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab pelaksanaan
penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya.
(2)
Dalam hal pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian
yang didasarkan pada perintah atasan/pimpinan, anggota Polri yang
menerima perintah tersebut dibenarkan untuk tidak melaksanakan perintah,
bila perintah atasan/pimpinan bertentangan dengan peraturan perundangundangan.
(3)
Penolakan pelaksanaan perintah atasan/pimpinan untuk menggunakan
kekuatan dalam tindakan kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
harus dapat dipertanggungjawabkan dengan alasan yang masuk akal.
(4)
Atasan/pimpinan yang memberi perintah kepada anggota Polri untuk
melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, harus turut
bertanggung jawab atas resiko/akibat yang terjadi sepanjang tindakan
anggota tersebut tidak menyimpang dari perintah atau arahan yang diberikan.
(5)
Pertanggungjawaban atas resiko yang terjadi akibat keputusan yang diambil
oleh anggota Polri ditentukan berdasarkan hasil penyelidikan/penyidikan
terhadap peristiwa yang terjadi oleh Tim Investigasi.
(6)
Tim Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibentuk sesuai
ketentuan yang berlaku.
Polda Sumsel 2009
Page 8


BAB V
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 14


(1)
Setiap pimpinan sebelum menugaskan anggota yang diperkirakan akan
menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian wajib memberikan arahan
kepada anggota yang ditugaskan mengenai penggunaan kekuatan.
(2)
Setiap anggota yang menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian wajib
memperhatikan arahan pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
menjadikannya sebagai pertimbangan dalam menerapkan diskresi kepolisian.
(3)
Setiap pelaksanaan tindakan kepolisian yang menggunakan kekuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d, huruf e, dan/atau
huruf f, anggota Polri yang melaksanakan penggunaan kekuatan kekuatan
wajib secara segera melaporkan pelaksanaannya kepada atasan langsung
secara tertulis dalam bentuk formulir penggunaan kekuatan sebagaimana
contoh yang tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dengan
peraturan ini.
(4)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat antara lain :
a.
tanggal dan tempat kejadian;
b.
uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka,
sehingga memerlukan tindakan kepolisian;
c.
alasan/pertimbangan penggunaan kakuatan;
d.
evaluasi hasil penggunaan kekuatan;
e.
akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan
tersebut.
(5)
Informasi yang dimuat dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
digunakan untuk :
a.
bahan laporan penggunaan kekuatan tahap 4 sampai dengan tahap 6
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d,e dan hurf f;
b.
mengetahui tahapan penggunaan kekuatan yang telah digunakan;
c.
mengetahui hal-hal yang terkait dengan keselamatan anggota Polri
dan/atau masyarakat;
Polda Sumsel 2009
Page 9


d.
bahan analisa dan evaluasi dalam rangka pengembangan dan
peningkatan kemampuan professional anggota Polri secara
berkesinambungan;
e.
bahan pertanggungjawaban hokum penerapan penggunaan kekuatan;
f.
bahan pembelaan hokum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata
terkait penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang
bersangkutan.
BAB VI

TEMBAKAN PERINGATAN

Pasal 15

(1)
Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat menimbulkan
bahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau
masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak bersifat
segera, dapat dilakukan tembakan peringatan.
(2)
Tembakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk akal untuk
menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, serta tidak
menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang di sekitarnya.
(3)
Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan
kehati-hatian yang tinggi apabila alternative lain sudah dilakukan tidak
berhasil dengan tujuan sebagai berikut :
a.
untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang akan
menyerang anggota Polri atau masyarakt ;
b.
untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada
pelaku kejahatan atau tersangka.
(4)
Tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya ancaman
yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian bersifat segera, sehingga
tidak memungkinkan untuk dilakukan tembakan peringatan.
Polda Sumsel 2009
Page 10


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16


Pada saat peraturan ini mulai berlaku, maka Peraturan Kapolri No. Pol. : 6 tahun
2005 tentang Pedoman Tindakan bagi Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia Dalam Penggunaan Kekuatan, dicabut dan dinytakan tidak berlaku.

Pasal 17

Peraturan Kapolri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Kapolri ini diundangkan dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Januari 2009

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLK INDONESIA,


Drs. BAMBANG HENDARSO DANURI, MM
JENDERAL POLISI

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Januari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 6


Polda Sumsel 2009 Page 11

Tips bermain Catur

Untuk Teman Catur ku sejagat Raya.......
Setelah hanya menampilkan partai2 dari GM@ dunia, Kali ini aku mencoba memberikan tips2 untuk bermain catur yang baik.setelah dipikir pikir akirnya kubuat 10 tips yang baik di contoh dan 10 yang harus dihindarkan.
Mungkin ini hanya secuil aja dan aku butuh referensi lain dari kalian semua untuk menambahkannya OK...Ini dia tips2 nya......
10 yang baik di contoh:
1. Kuasai pusat, Ini sangat penting sekali.Kalau kita tak menguasi pusat petak catur, yaitu petak kotakan e4,d4,d5,e5 kita akan selalu kewalahan dan akan terus tertekan sepanjang pertandingan.Dan akhirnya hampir bisa dipastikan kalah.
2. Jalankan kuda sebelum gajah diawal pembukaan. Ini memang tak mutlak dilakukan , tapi kuda memang lebih fleksibel kan di banding gajah
3. Jalankan gajah sebelum benteng, karena gajah memang harus dikeluarkan dulu sehingga ruang gerak kita akan longgar dan bebas bergerak
4. Jalankan benteng sebelum menteri, Menteri memang harus dikeluarkannya terakhir.Tapi ada kalanya ini tidaklah mutlak dalam pembukaan tertentu dan kondisi tertentu.
5. Rokade cepat. dengan rokade cepat diharapkan kita bisa langsung mengatur arah serangan kita.

6. Lindungi buah. Ini mencegah kekalaan kita dari materi.
7. Serang petak yang sama dengan banyak buah Ini untuk pemusatan serangan agar jangan sampai kita kekurangan amunisi ditengah tengah penyarangan
8. Ciptakan penyergapan bila mungkin, bila perlu lakukan dengan pengorbanan yang indah.
9. Ciptakan pengikatan bila mungkin. ini untuk mencegah lawan untuk melakukan counter attack.
10.Kembangkan strategi pada setiap langkah. setiap langkah kita haruslah punya makna dan tujuan.

10 Yang jangan dilakukan:
1. Jangan jalankan buah lebih dari 1x dalam
pembukaan. Ini untuk mencegah kita dalam kehilangan tempo, juga agar buah2 yang lain dapat segera difungsikan.
2. Jangan memberikan sekak terlalu cepat bila tak ada gunanya apa
3. Jangan ciptakan bidak tumpuk. pada kondisi tertentu bidak tumpuk dapat bermanfaat, tapi bila partai kita mencapai babak ending , bidak tumpukamat menyebalkan
4. Jangan ciptakan bidak terpencil (isolasi).bila kita punya bidak terpencil, kita akan sulit untuk melindunginya.Dan akan menjadi titik lemah kita.
5. Jangan biarkan lawan menciptakan bidak bebas. karena bidak bebas berbahaya, bahkan bisa dikatakan bidak bebas ini melebihi perwira. jangan remehkan bidak bebas ya.
6. Jangan tutup jalan gajah dengan bidak. gajah sangat butuh jalur2 diagonal terbuka untuk mengoptimalkan fungsinya.
7. Jangan cepat makan buah yang terikat, kalau masih
bisa mempertahankan ikatan. Kita butuh timing yang pas untuk berpesta pora menghabiskan buah lawan.
8. Jangan jalankan bidak dimuka raja yang sudah
rokade. Ini untuk mencegah pertahanan kita menjadi longgar.
9. Jangan lakukan strategi yang tidak dimengerti.
10.Jangan main terlalu tegang. main yang tegang bisa meruba hasil kemenangan didepan mata menjadi sirna.
udah. Kiranya hanya itu yang bisa disampaikan.Semoga bermanfaat....
Selamat mencoba

Tips bermain Catur

Untuk Teman Catur ku sejagat Raya.......
Setelah hanya menampilkan partai2 dari GM@ dunia, Kali ini aku mencoba memberikan tips2 untuk bermain catur yang baik.setelah dipikir pikir akirnya kubuat 10 tips yang baik di contoh dan 10 yang harus dihindarkan.
Mungkin ini hanya secuil aja dan aku butuh referensi lain dari kalian semua untuk menambahkannya OK...Ini dia tips2 nya......
10 yang baik di contoh:
1. Kuasai pusat, Ini sangat penting sekali.Kalau kita tak menguasi pusat petak catur, yaitu petak kotakan e4,d4,d5,e5 kita akan selalu kewalahan dan akan terus tertekan sepanjang pertandingan.Dan akhirnya hampir bisa dipastikan kalah.
2. Jalankan kuda sebelum gajah diawal pembukaan. Ini memang tak mutlak dilakukan , tapi kuda memang lebih fleksibel kan di banding gajah
3. Jalankan gajah sebelum benteng, karena gajah memang harus dikeluarkan dulu sehingga ruang gerak kita akan longgar dan bebas bergerak
4. Jalankan benteng sebelum menteri, Menteri memang harus dikeluarkannya terakhir.Tapi ada kalanya ini tidaklah mutlak dalam pembukaan tertentu dan kondisi tertentu.
5. Rokade cepat. dengan rokade cepat diharapkan kita bisa langsung mengatur arah serangan kita.

6. Lindungi buah. Ini mencegah kekalaan kita dari materi.
7. Serang petak yang sama dengan banyak buah Ini untuk pemusatan serangan agar jangan sampai kita kekurangan amunisi ditengah tengah penyarangan
8. Ciptakan penyergapan bila mungkin, bila perlu lakukan dengan pengorbanan yang indah.
9. Ciptakan pengikatan bila mungkin. ini untuk mencegah lawan untuk melakukan counter attack.
10.Kembangkan strategi pada setiap langkah. setiap langkah kita haruslah punya makna dan tujuan.

10 Yang jangan dilakukan:
1. Jangan jalankan buah lebih dari 1x dalam
pembukaan. Ini untuk mencegah kita dalam kehilangan tempo, juga agar buah2 yang lain dapat segera difungsikan.
2. Jangan memberikan sekak terlalu cepat bila tak ada gunanya apa
3. Jangan ciptakan bidak tumpuk. pada kondisi tertentu bidak tumpuk dapat bermanfaat, tapi bila partai kita mencapai babak ending , bidak tumpukamat menyebalkan
4. Jangan ciptakan bidak terpencil (isolasi).bila kita punya bidak terpencil, kita akan sulit untuk melindunginya.Dan akan menjadi titik lemah kita.
5. Jangan biarkan lawan menciptakan bidak bebas. karena bidak bebas berbahaya, bahkan bisa dikatakan bidak bebas ini melebihi perwira. jangan remehkan bidak bebas ya.
6. Jangan tutup jalan gajah dengan bidak. gajah sangat butuh jalur2 diagonal terbuka untuk mengoptimalkan fungsinya.
7. Jangan cepat makan buah yang terikat, kalau masih
bisa mempertahankan ikatan. Kita butuh timing yang pas untuk berpesta pora menghabiskan buah lawan.
8. Jangan jalankan bidak dimuka raja yang sudah
rokade. Ini untuk mencegah pertahanan kita menjadi longgar.
9. Jangan lakukan strategi yang tidak dimengerti.
10.Jangan main terlalu tegang. main yang tegang bisa meruba hasil kemenangan didepan mata menjadi sirna.
udah. Kiranya hanya itu yang bisa disampaikan.Semoga bermanfaat....
Selamat mencoba

Selasa, 19 April 2011

Hukum Peradilan Militer

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1997
TENTANG
PERADILAN MILITER


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

a.
bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;
b.
bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran,
ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat, dapat mendorong
kreativitas dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan;
c.
bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut
adalah melalui peradilan militer sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sementara itu Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia menentukan bahwa
Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang
penyerahan perkara;
d.
bahwa pengaturan tentang pengadilan dan oditurat serta hukum acara pidana militer yang selama ini berlaku
dalam berbagai undang-undang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 20 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia serta perkembangan
hukum nasional;
e.
bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undangundang
Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pengadilan militer juga
berwenang memerik-sa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Angkatan Bersenjata;
f.
bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e tersebut
di atas dipandang perlu ditetapkan pengaturan kembali susunan dan kekuasaan pengadilan dan oditurat di
lingkungan peradilan militer, hukum acara pidana militer, dan hukum acara tata usaha militer dalam satu undangundang;
Mengingat :

1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
3.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undangundang
Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);
4.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
5.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1986
Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344);
6.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3369);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN MILITER.

BAB I
KETENTUAN UMUM


Bagian Pertama
Pengertian



Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.
Pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi
Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
2.
Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Oditurat
Militer Pertempuran yang selanjutnya disebut Oditurat adalah badan di lingkungan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan
berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
3.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Badan atau
Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah Badan atau Pejabat di lingkungan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dan Departemen Pertahanan Keamanan serta badan atau pejabat lain yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berwenang mengeluarkan keputusan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pembinaan dan penggunaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta
pengelolaan pertahanan keamanan negara.
4.
Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang
masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan.
5.
Hakim Ketua adalah Hakim yang mengetuai majelis hakim dalam persidangan pengadilan.
6.
Hakim Anggota adalah Hakim yang menjadi anggota majelis hakim di persidangan pengadilan.
7.
Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang
untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan
sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
8.
Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Oditur Jenderal adalah
penuntut umum ter-tinggi di lingkungan Angkatan Bersenjata, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi
Oditurat yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat.
9.
Atasan yang Berhak Menghukum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan
hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan
penyidikan berdasarkan Undang-undang ini.
10.
Perwira Penyerah Perkara adalah perwira yang oleh atau atas dasar Undang-undang ini mempunyai wewenang
untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
yang berada di bawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di luar Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
11.
Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Penyidik adalah Atasan yang
Berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh Undangundang
ini untuk melakukan penyidikan.
12.
Penyidik Pembantu adalah pejabat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tertentu yang berada dan diberi
wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan di kesatuannya.
13.
Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan
segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai
sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras
telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut
melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
14.
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan
undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya
peris tiwa pidana.
15.
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang
berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikannya.
16.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
17.
Penangkapan adalah suatu tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan
atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
18.
Penggeledahan badan adalah tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengadakan
pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau
dibawanya serta, untuk disita.
19.
Penggeledahan rumah adalah tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk memasuki rumah
tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau
penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
20.
Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengambil alih
dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan.
21.
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh Penyidik Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia atas perintah Atasan yang Berhak Menghukum, Perwira Penyerah Perkara atau Hakim Ketua

atau Kepala Pengadilan dengan keputusan/penetapannya dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-undang ini.

22.
Penyerahan perkara adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk menyerahkan perkara pidana kepada
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang
berwenang, dengan menuntut supaya diperiksa dan diadili dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-undang ini.
23.
Penutupan perkara adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk tidak menyerahkan perkara pidana kepada
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum berdasarkan
pertimbangan demi kepentingan hukum atau kepentingan militer dan/atau kepentingan umum.
24.
Penghentian penuntutan adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk tidak menyerahkan perkara pidana ke
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang
berwenang karena tidak terdapat cukup bukti atau perbuatannya ternyata bukan merupakan tindak pidana dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
25.
Tersangka adalah seseorang yang termasuk yustisiabel peradilan militer, yang karena perbuatannya atau
keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
26.
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
27.
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
28.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.
29.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
30.
Penasihat hukum adalah seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
memenuhi persyaratan untuk memberikan bantuan hukum menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
31.
Rehabilitasi adalah hak Terdakwa untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat
serta martabatnya dalam hal Terdakwa diputus oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang putusannya bukan pemidanaan menurut cara yang diatur
dalam Undang-undang ini.
32.
Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
33.
Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Tata Usaha Angkatan Bersenjata
adalah administrasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan pembinaan dan penggunaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta pengelolaan
pertahanan keamanan negara.
34.
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Keputusan Tata
Usaha Angkatan Bersenjata adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berisi tindakan hukum berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan berkaitan dengan penyelenggaraan pembinaan dan penggunaan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta pengelolaan pertahanan keamanan negara di bidang personel,
materiil, fasilitas dan jasa yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi orang
atau badan hukum perdata.
35.
Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut sengketa Tata Usaha
Angkatan Bersenjata adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia.
36.
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dan diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi untuk mendapatkan putusan.
37.
Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang menggugat Tergugat.
38.
Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh
orang atau badan hukum perdata.
39.
Penetapan adalah Keputusan Hakim Ketua atau Kepala Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, baik di
dalam maupun di luar sidang, mengenai perkara pidana atau perkara Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia yang bukan merupakan putusan akhir.
40.
Ganti rugi adalah hak seseorang yang menjadi korban dari tindak pidana yang langsung atau tidak langsung
mendapat kerugian, untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang menurut
cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
41.
Upaya hukum adalah:
a.
dalam Hukum Acara Pidana Militer, hak terdakwa atau Oditur untuk tidak menerima putusan pengadilan
tingkat pertama/pengadilan tingkat pertama dan terakhir atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang
berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana atau ahli warisnya atau Oditur untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum
tetap dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini;

b.
dalam Hukum Acara Tata Usaha Militer, tergugat atau penggugat untuk tidak menerima putusan pengadilan
tingkat pertama atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa banding atau kasasi, atau permohonan
peninjauan kembali putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap serta hak pihak ketiga untuk
mengajukan perlawanan pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
42.
Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Prajurit adalah warga negara yang
memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh
pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata,
rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.
43.
Angkatan Bersenjata adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
44.
Menteri adalah Menteri Pertahanan Keamanan Republik Indonesia.
45.
Panglima adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pasal 2
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata menurut Undang-undang ini:

a.
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b.
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digunakan dalam bidang operasi militer;
c.
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digunakan di bidang keuangan dan perbendaharaan;
d.
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau ketentuan peraturan perundang-undangan
lain yang bersifat hukum pidana, hukum pidana militer, dan hukum disiplin prajurit;
f.
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
g.
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang masih memerlukan persetujuan.
Pasal 3

(1)
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu
menjadi kewajibannya, hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
(2)
Apabila suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohon, sedangkan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
dimaksud sudah lewat, Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tersebut dianggap sudah menolak
mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3)
Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan yang ber-sangkutan tidak menentukan tenggang waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesudah lewat tenggang waktu 4 (empat) bulan sejak diterimanya
permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dianggap sudah
mengeluarkan keputusan penolakan.
Pasal 4

Pengadilan Militer Tinggi tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan

Bersenjata tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:

a.
dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan,
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagian Kedua
Kedudukan


Pasal 5


(1)
Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk
menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan
negara.
(2)
Oditurat merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di
lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima, dengan memperhatikan kepentingan
penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Bagian Ketiga
Pembinaan


Pasal 6
Pembinaan teknis pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Pasal 7

(1)
Pembinaan organisasi dan prosedur, administrasi, finansial badan-badan Pengadilan dan Oditurat dilakukan oleh
Panglima.

(2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
BAB II
SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum


Pasal 8


(1)
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan
Angkatan Bersenjata.
(2)
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpuncak pada Mahkamah Agung
sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Pasal 9
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:

1.
Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a.
Prajurit;
b.
yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c.
anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit
berdasarkan undang-undang;
d.
seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima
dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
2.
Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3.
Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak
yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus
memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Pasal 10
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang:

a.
tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
b.
terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya.
Pasal 11
Apabila lebih dari 1 (satu) pengadilan berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya,
pengadilan yang menerima perkara itu lebih dahulu harus mengadili perkara tersebut.

Bagian Kedua
Susunan Pengadilan


Pasal 12
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari:

a.
Pengadilan Militer;
b.
Pengadilan Militer Tinggi;
c.
Pengadilan Militer Utama; dan
d.
Pengadilan Militer Pertempuran.
Pasal 13
Susunan organisasi dan prosedur Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Ketiga
Nama, Tempat Kedudukan, dan Daerah Hukum


Pasal 14


(1)
Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia yang daerah
hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
(2)
Nama, tempat kedudukan, dan daerah hukum pengadilan lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima.
(3)
Apabila perlu, Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya.
(4)
Apabila perlu, Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya atas
izin Kepala Pengadilan Militer Utama.
Bagian Keempat
Susunan Persidangan



Pasal 15

(1)
Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana pada
tingkat pertama dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dihadiri 1 (satu)
orang Oditur Militer/ Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera.
(2)
Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang
dibantu 1 (satu) orang Panitera.
(3)
Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana
pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dibantu 1
(satu) orang Panitera.
(4)
Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang
dibantu 1 (satu) orang Panitera.
Pasal 16

(1)
Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer paling rendah berpangkat Mayor, sedangkan Hakim Anggota
dan Oditur Militer paling rendah berpangkat Kapten.
(2)
Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Tinggi paling rendah berpangkat Kolonel, sedangkan Hakim
Anggota dan Oditur Militer Tinggi paling rendah berpangkat Letnan Kolonel.
(3)
Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Utama paling rendah berpangkat Brigadir
Jenderal/Laksamana Pertama/ Marsekal Pertama, sedangkan Hakim Anggota paling rendah berpangkat Kolonel.
(4)
Hakim Anggota dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan Hakim Anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling rendah berpangkat setingkat lebih tinggi dari pada pangkat Terdakwa yang diadili.
(5)
Dalam hal Terdakwanya berpangkat Kolonel, Hakim Anggota, dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat Terdakwa dan dalam hal Terdakwanya perwira tinggi Hakim
Ketua, Hakim Anggota dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah ber-pangkat setingkat
dengan pangkat Terdakwa.
(6)
Kepangkatan Panitera dalam persidangan:
a.
Pengadilan Militer paling rendah berpangkat Pembantu Letnan Dua dan paling tinggi berpangkat Kapten;
b.
Pengadilan Militer Tinggi paling rendah berpangkat Kapten dan paling tinggi berpangkat Mayor;
c.
Pengadilan Militer Utama paling rendah berpangkat Mayor dan paling tinggi berpangkat Kolonel.
Pasal 17

(1)
Pengadilan Militer Pertempuran bersidang untuk memeriksa dan memutus suatu perkara pidana dengan 1 (satu)
orang Hakim Ketua dengan beberapa Hakim Anggota yang keseluruhannya selalu berjumlah ganjil, yang dihadiri
1 (satu) orang Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera.
(2)
Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Pertempuran paling rendah berpangkat Letnan Kolonel,
sedangkan Hakim Anggota dan Oditur paling rendah berpangkat Mayor.
(3)
Dalam hal Terdakwanya berpangkat Letnan Kolonel, Hakim Anggota dan Oditur sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat Terdakwa yang diadili.
(4)
Dalam hal Terdakwanya berpangkat Kolonel dan/atau perwira tinggi, Hakim Ketua, Hakim Anggota, dan Oditur
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat Terdakwa yang diadili.
Bagian Kelima
Ketentuan bagi Pejabat


Pasal 18
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Militer, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:

a.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c.
tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d.
paling rendah berpangkat Kapten dan berijazah Sarjana Hukum;
e.
berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 19
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Militer Tinggi, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:

a.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c.
tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d.
paling rendah berpangkat Letnan Kolonel dan berijazah Sarjana Hukum;
e.
berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

Pasal 20

Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Militer Utama, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling rendah berpangkat Kolonel dan berijazah Sarjana Hukum;
e. berpengalaman sebagai Hakim Militer Tinggi atau sebagai Oditur Militer Tinggi; dan
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

Pasal 21
Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku
Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 22
Sebelum memangku jabatannya, Hakim wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya sebagai berikut:

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapapun juga".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini,
tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta
peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama,
dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang Hakim Militer/Hakim Militer Tinggi/Hakim Militer Utama yang berbudi
baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

Pasal 23
Hakim dilarang merangkap pekerjaan sebagai:

a.
pelaksana putusan pengadilan;
b.
penasihat hukum;
c.
pengusaha; atau
d.
pekerjaan lain selain tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Panglima.
Pasal 24

(1)
Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a.
alih jabatan;
b.
permintaan sendiri;
c.
sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d.
menjalani masa pensiun; atau
e.
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2)
Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya.
Pasal 25

(1)
Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:
a.
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b.
melakukan perbuatan tercela;
c.
terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas jabatannya;
d.
melanggar sumpah atau janji jabatannya; atau
e.
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
(2)
Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat, dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan sesudah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk
membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(3)
Pembentukan susunan dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Panglima sesudah mendengar pertimbangan Kepala Pengadilan Militer
Utama.
Pasal 26
Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat diberhentikan
sementara dari jabatannya.

Pasal 27


Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan dan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya
Hakim tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.

Pasal 28
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 29
Panitera diangkat dan diberhentikan oleh Panglima.

Pasal 30
Sebelum memangku jabatannya, Panitera wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya sebagai berikut:

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapapun juga".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini,
tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta
peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama,
dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang Panitera yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan".

Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera pada Pengadilan Militer, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:

a. sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf a dan Pasal 18 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf f;
b. berijazah paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas; dan
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun di bidang administrasi peradilan.

Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera pada Pengadilan Militer Tinggi, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:

a.
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf b dan Pasal 19 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf f;
b.
berijazah paling rendah Sarjana Hukum; dan
c.
berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera pada Pengadilan Militer.
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera pada Pengadilan Militer Utama, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:

a.
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf c dan Pasal 20 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf f;
b.
berijazah Sarjana Hukum; dan
c.
berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera pada Pengadilan Militer Tinggi.
Pasal 34
Panitera dilarang merangkap pekerjaan sebagai:

a.
pelaksana putusan pengadilan;
b.
penasihat hukum;
c.
pengusaha; atau
d.
pekerjaan lain selain tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Panglima.
Pasal 35

(1)
Panitera diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a.
alih jabatan;
b.
permintaan sendiri;
c.
sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d.
menjalani masa pensiun; atau
e.
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2)
Panitera yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya.
Pasal 36
Panitera diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:


a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas jabatannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatannya; atau
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

Pasal 37
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Panglima.

Pasal 38

(1)
Panitera bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan membantu Hakim dengan mengikuti serta mencatat
jalannya sidang.
(2)
Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di kepaniteraan.
(3)
Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku daftar, surat-surat
berharga dan surat-surat lainnya, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, serta barang bukti yang semuanya
disimpan di kepaniteraan.
Pasal 39
Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh dibawa ke luar ruang kerja kepaniteraan,
kecuali atas izin Kepala Pengadilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keenam
Kekuasaan Pengadilan

Paragraf 1
Kekuasaan Pengadilan Militer

Pasal 40
Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang Terdakwanya adalah:

a.
Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
b.
mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya "termasuk tingkat
kepangkatan" Kapten ke bawah; dan
c.
mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer.
Paragraf 2
Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi

Pasal 41

(1)
Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama:
a.
memeriksa dan memutus perkara pidana yang Terdakwanya adalah:
1) Prajurit atau salah satu Prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya atau salah
satu Terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" Mayor ke atas; dan
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi;

b.
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
(2)
Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh
Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
(3)
Pengadilan Militer Tinggi memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara
Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
Paragraf 3
Kekuasaan Pengadilan Militer Utama

Pasal 42
Pengadilan Militer Utama memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha
Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan
banding.

Pasal 43

(1)
Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang
mengadili:
a.
antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;
b.
antar Pengadilan Militer Tinggi; dan
c.
antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
(2)
Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi:

a. apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama;
b. apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
(3)
Pengadilan Militer Utama memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dan Oditur tentang
diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum.
Pasal 44

(1)
Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap:
a.
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan
Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing;
b.
tingkah laku dan perbuatan para Hakim dalam menjalankan tugasnya.
(2)
Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan
teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
(3)
Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
(4)
Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak mengurangi
kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
(5)
Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi kepada
Mahkamah Agung.
Paragraf 4
Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran


Pasal 45
Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang
dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran.

Pasal 46
Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum
di daerah pertempuran.

BAB III
SUSUNAN DAN KEKUASAAN ODITURAT


Bagian Pertama
Umum


Pasal 47


(1)
Oditurat melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan
Angkatan Bersenjata sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(2)
Oditurat adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan.
Pasal 48
Pembinaan teknis yustisial dan pengawasan bagi Oditurat dilakukan oleh Oditur Jenderal.

Bagian Kedua
Susunan Oditurat


Pasal 49


(1)
Oditurat terdiri dari:
a.
Oditurat Militer;
b.
Oditurat Militer Tinggi;
c.
Oditurat Jenderal; dan
d.
Oditurat Militer Pertempuran.
(2)
Dalam daerah hukum Oditurat Militer dapat dibentuk unit pelaksana teknis Oditurat Militer sesuai dengan
kebutuhan.
Pasal 50
Susunan organisasi dan prosedur Oditurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ditetapkan dengan Keputusan
Panglima.

Bagian Ketiga
Nama, Tempat Kedudukan, dan Daerah Hukum


Pasal 51



(1)
Tempat kedudukan Oditurat Jenderal berada di Ibukota Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya
meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
(2)
Nama, tempat kedudukan, dan daerah hukum Oditurat Militer, dan Oditurat Militer Tinggi ditetapkan dengan
Keputusan Panglima.
(3)
Oditurat Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah
hukum di daerah pertempuran.
Bagian Keempat
Ketentuan bagi Pejabat

Pasal 52
Untuk dapat diangkat menjadi Oditur Militer, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling rendah berpangkat Kapten dan berijazah Sarjana Hukum;
e. berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

Pasal 53
Untuk dapat diangkat menjadi Oditur Militer Tinggi, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:

a.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c.
tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d.
paling rendah berpangkat Letnan Kolonel dan berijazah Sarjana Hukum;
e.
berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 54
Untuk dapat diangkat menjadi Oditur Jenderal, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:

a.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c.
tidak terlibat partai atau organisasi terlarang;
d.
perwira tinggi dan berijazah Sarjana Hukum;
e.
berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 55
Oditur dan Oditur Jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Panglima.

Pasal 56
Sebelum memangku jabatannya, Oditur dan Oditur Jenderal wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya
sebagai berikut:

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapapun juga".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini,
tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta
peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama,
dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi/Oditur Jenderal Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

Pasal 57

(1)
Oditur dan Oditur Jenderal adalah pejabat fungsional yang dalam melakukan penuntutan bertindak untuk dan
atas nama masyarakat, pemerintah, dan negara serta bertanggung jawab menurut saluran hirarki.
(2)
Oditur melaksanakan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah "Demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa".
(3)
Dalam melakukan penuntutan Oditur senantiasa mengindahkan norma keagamaan, kemanusiaan, dan kesusilaan
serta wajib menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan
kepentingan pertahanan keamanan negara.

Pasal 58

Oditur dan Oditur Jenderal dilarang merangkap pekerjaan sebagai:

a. penasihat hukum;
b. pengusaha; atau
c. pekerjaan lain selain tersebut pada huruf a dan huruf b yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.

Pasal 59

(1)
Oditur dan Oditur Jenderal diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a.
alih jabatan;
b.
permintaan sendiri;
c.
sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d.
menjalani masa pensiun; atau
e.
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2)
Oditur dan Oditur Jenderal yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya.
Pasal 60

(1)
Oditur dan Oditur Jenderal diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:
a.
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b.
melakukan perbuatan tercela;
c.
terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas jabatannya;
d.
melanggar sumpah atau janji jabatannya; atau
e.
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(2)
Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat, dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf d dan huruf e dilakukan sesudah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk
membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Oditur.
(3)
Pembentukan susunan dan tata kerja Majelis Kehormatan Oditur serta tata cara pembelaan diri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Panglima sesudah mendengar pertimbangan Oditur Jenderal.
Pasal 61
Oditur dan Oditur Jenderal sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat

(1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 62
Apabila terhadap seorang Oditur dan Oditur Jenderal ada perintah penangkapan dan yang diikuti dengan penahanan,
dengan sendirinya Oditur dan Oditur Jenderal tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.

Pasal 63
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 60, dan Pasal 61 diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.

Bagian Kelima
Kekuasaan Oditurat

Paragraf 1
Kekuasaan Oditurat Militer

Pasal 64

(1)
Oditurat Militer mempunyai tugas dan wewenang:
a.
melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya:
1) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya "termasuk
tingkat kepangkatan" Kapten ke bawah;
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer;

b.
melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum;
c.
melakukan pemeriksaan tambahan.
(2)
Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer dapat melakukan
penyidikan.
Paragraf 2
Kekuasaan Oditurat Militer Tinggi

Pasal 65

(1)
Oditurat Militer Tinggi mempunyai tugas dan wewenang :
a.
melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya adalah:

1) Prajurit atau salah satu Prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya atau salah
satu Terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" Mayor ke atas; dan
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi;

b.
melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum;
c.
melakukan pemeriksaan tambahan.
(2)
Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer Tinggi dapat
melakukan penyidikan.
Paragraf 3
Kekuasaan Oditurat Jenderal


Pasal 66
Oditurat Jenderal mempunyai tugas dan wewenang:

a.
membina, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat;
b.
menyelenggarakan pengkajian masalah kejahatan guna kepentingan penegakan serta kebijaksanaan pemidanaan;
dan
c.
dalam rangka penyelesaian dan pelaksanaan penuntutan perkara tindak pidana tertentu yang acaranya diatur
secara khusus, mengadakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Polisi Militer, dan badan penegak hukum lain.
Pasal 67
Oditur Jenderal mempunyai tugas dan wewenang:

a.
selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Oditurat, mengendalikan pelaksanaan tugas dalam bidang
penuntutan di lingkungan Angkatan Bersenjata;
b.
mengendalikan dan mengawasi penggunaan wewenang penyidikan, penyerahan perkara, dan penuntutan di
lingkungan Angkatan Bersenjata;
c.
menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati, permohonan
atau rencana pemberian amnesti, abolisi, dan rehabilitasi; dan
d.
melaksanakan tugas khusus dari Panglima sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Paragraf 4
Kekuasaan Oditurat Militer Pertempuran


Pasal 68


(1)
Oditurat Militer Pertempuran mempunyai tugas dan wewenang:
a.
melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 angka 1;
b.
melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan Militer Pertempuran.
(2)
Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer Pertempuran
dapat melakukan penyidikan sejak awal tanpa perintah Oditur Jenderal dalam hal ada perintah langsung dari
Panglima atau Komandan Komando Operasi Pertempuran.
BAB IV
HUKUM ACARA PIDANA MILITER


Bagian Pertama
Penyidikan


Paragraf 1
Penyidik dan Penyidik Pembantu


Pasal 69


(1)
Penyidik adalah:
a.
Atasan yang Berhak Menghukum;
b.
Polisi Militer; dan
c.
Oditur.
(2)
Penyidik Pembantu adalah:
a.
Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat;
b.
Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut;
c.
Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara; dan
d.
Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 70


Persyaratan, pengangkatan, dan pemberhentian Penyidik dan Penyidik Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf b dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.

Pasal 71

(1)
Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang atau diduga sebagai Tersangka, mempunyai wewenang:
a.
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga
merupakan tindak pidana;
b.
melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian;
c.
mencari keterangan dan barang bukti;
d.
menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai Tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya;
e.
melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat;
f.
mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g.
memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai Tersangka atau Saksi;
h.
meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara; dan
i.
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2)
Selain mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf b atau huruf c, juga mempunyai wewenang:
a.
melaksanakan perintah Atasan yang Berhak Menghukum untuk melakukan penahanan Tersangka; dan
b.
melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Atasan yang Berhak Menghukum.
Pasal 72

(1)
Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dengan
tidak mengurangi ketentuan lain dalam Undang-undang ini.
(2)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikannya kepada Perwira Penyerah Perkara, Atasan yang Berhak Menghukum, dan Oditur sebagai
penuntut umum.
(3)
Penyerahan berkas perkara kepada Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai penyerahan
tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti.
Pasal 73

Penyidik Pembantu mempunyai wewenang yang sama dengan wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 dan Pasal 72 terhadap tindak pidana yang terjadi di kesatuannya, kecuali dalam hal pemberkasan dan
penyerahan berkas perkara kepada Oditurat.

Pasal 74
Atasan yang Berhak Menghukum mempunyai wewenang:

a.
melakukan penyidikan terhadap Prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c;
b.
menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b
atau huruf c;
c.
menerima berkas perkara hasil penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b
atau huruf c; dan
d.
melakukan penahanan terhadap Tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya.
Paragraf 2
Penangkapan dan Penahanan


Pasal 75


(1)
Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik berwenang melakukan penangkapan.
(2)
Penangkapan terhadap Tersangka di luar tempat kedudukan Atasan yang Berhak Menghukum yang langsung
membawahkannya dapat dilakukan oleh penyidik setempat di tempat Tersangka ditemukan, berdasarkan
permintaan dari Penyidik yang menangani perkaranya.
(3)
Pelaksanaan penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan surat perintah.
Pasal 76

(1)
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti permulaan yang cukup.
(2)
Terhadap Tersangka pelaku pelanggaran tidak dapat dilakukan penangkapan, kecuali dalam hal Tersangka sudah
dipanggil secara sah 2 (dua) kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa alasan yang sah.
(3)
Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.
Pasal 77


(1)
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh Penyidik atau anggota Polisi Militer atau anggota bawahan
Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa.
(2)
Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap
harus segera menyerahkan Tersangka beserta barang bukti yang ada kepada Penyidik yang terdekat.
(3)
Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada keluarganya
segera sesudah penangkapan dilakukan.
(4)
Sesudah penangkapan dilaksanakan, Penyidik wajib segera melaporkan kepada Atasan yang Berhak
Menghukum yang bersangkutan.
Pasal 78

(1)
Untuk kepentingan penyidikan Atasan yang Berhak Menghukum dengan surat keputusannya, berwenang
melakukan penahanan Tersangka untuk paling lama 20 (dua puluh) hari.
(2)
Tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat
diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara yang berwenang dengan keputusannya untuk setiap kali 30 (tiga
puluh) hari dan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya
Tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, apabila kepentingan pemeriksaan sudah
dipenuhi.
(4)
Sesudah waktu 200 (dua ratus) hari, Tersangka harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 79

(1)
Penahanan atau perpanjangan penahanan dilakukan terhadap Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
ayat (1) dan ayat (2) yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana, atau membuat keonaran.
(2)
Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan terhadap Tersangka yang disangka
melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 3 (tiga) bulan atau lebih.
(3)
Penahanan atau perpanjangan penahanan hanya dapat dilakukan apabila persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dipenuhi.
Pasal 80

(1)
Penahanan atau perpanjangan penahanan terhadap Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan oleh Penyidik dengan surat perintah berdasarkan surat keputusan penahanan atau
surat keputusan perpanjangan penahanan yang mencantumkan identitas Tersangka dan menyebutkan alasan
penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia ditahan.
(2)
Tembusan surat perintah pelaksanaan penahanan atau perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan kepada keluarganya.
(3)
Penahanan dilaksanakan di rumah tahanan militer atau tempat lain yang ditentukan oleh Panglima.
Pasal 81

(1)
Atas permintaan Tersangka, Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara sesuai dengan
kewenangan masing-masing berdasarkan saran Polisi Militer atau Oditur dapat mengadakan penangguhan
penahanan dengan persyaratan yang ditentukan.
(2)
Karena jabatannya, Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara sewaktu-waktu dapat
mencabut penangguhan penahanan dalam hal Tersangka melanggar persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Paragraf 3
Penggeledahan dan Penyitaan


Pasal 82
Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah, penggeledahan pakaian, atau
penggeledahan badan.

Pasal 83

(1)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c dalam melakukan penyidikan dapat
mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
(2)
Pelaksanaan penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan surat perintah
komandan/kepala dari Penyidik yang menangani perkara.
(3)
Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dalam hal Tersangka atau penghuni
menyetujuinya, dan dalam hal Tersangka tidak hadir atau penghuni menolak, pelaksanaan pemasukan rumah
harus disaksikan oleh kepala desa atau lurah atau ketua lingkungan dengan 2 (dua) orang saksi.

(4)
Penggeledahan yang dilakukan di dalam kesatrian atau asrama Angkatan Bersenjata dilakukan dengan seizin
komandan/kepala kesatrian atau pimpinan asrama tersebut dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(5)
Dalam waktu 2 (dua) hari setelah memasuki dan/atau menggeledah rumah, harus dibuat berita acara dan
salinannya disampaikan kepada penghuni, atau pemilik rumah, atau komandan/kepala kesatrian, atau pimpinan
asrama yang bersangkutan.
Pasal 84

(1)
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak apabila Penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin
untuk mendapatkan surat perintah penggeledahan terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (5), Penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a.
di halaman rumah tempat Tersangka bertempat tinggal, berdiam atau berada, dan yang ada di atasnya;
b.
di setiap tempat lain Tersangka bertempat tinggal, berdiam atau berada; dan
c.
di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya.
(2)
Dalam hal Penyidik melakukan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik tidak
diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku, dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang
berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan atau diduga telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkannya kepada Atasan
yang Berhak Menghukum yang bersangkutan.
Pasal 85
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, Penyidik dilarang memasuki:

a.
ruang yang di dalamnya sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b.
tempat yang di dalamnya sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan;
c.
ruang yang di dalamnya sedang berlangsung sidang pengadilan;
d.
tempat di lingkungan Angkatan Bersenjata yang berdasarkan kepentingan pertahanan keamanan negara tidak
bebas dimasuki.
Pasal 86

(1)
Pada waktu menangkap Tersangka, Penyidik atau anggota Polisi Militer atas perintah Penyidik berwenang
menggeledah pakaian, termasuk benda yang dibawanya.
(2)
Pelaksanaan penggeledahan badan Tersangka hanya dapat dilakukan oleh Penyidik.
Pasal 87

(1)
Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik dapat melakukan penyitaan.
(2)
Pelaksanaan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan surat perintah.
(3)
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak apabila Penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin
untuk mendapatkan surat perintah penyitaan terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib
segera melaporkannya kepada atasan Penyidik yang berwenang mengeluarkan surat perintah penyitaan untuk
memperoleh persetujuannya.
Pasal 88

(1)
Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a.
benda atau tagihan Tersangka seluruh atau sebagian yang diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai
hasil tindak pidana;
b.
benda yang sudah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya;
c.
benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d.
benda yang khusus dibuat atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana; atau
e.
benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2)
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 89
Dalam hal tertangkap tangan Penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga sudah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.

Pasal 90
Dalam hal tertangkap tangan, Penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau
pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan, sepanjang paket atau surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi Tersangka atau yang berasal dari
padanya dan untuk itu kepada Tersangka dan/atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan.


Pasal 91

(1)
Penyidik berwenang memerintahkan orang yang menguasai benda yang dapat disita supaya menyerahkan benda
tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan
surat tanda penerimaan.
(2)
Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada Penyidik apabila surat atau tulisan itu
berasal dari Tersangka atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau apabila
benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.
Pasal 92
Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya,
sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus
Kepala Pengadilan yang berwenang, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 93

(1)
Benda sitaan negara disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara dalam lingkungan peradilan militer.
(2)
Penyimpanan benda sitaan negara dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada
pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang
untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
(3)
Rumah penyimpanan benda sitaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Panglima.
Pasal 94

(1)
Dalam hal benda sitaan terdiri dari benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak
mungkin untuk disimpan sampai putusan Pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan
hukum tetap atau apabila biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan
persetujuan Tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a.
apabila perkara masih ada di tangan Penyidik atau Oditur, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat
diamankan oleh Penyidik atau Oditur dengan disaksikan oleh Tersangka atau kuasanya;
b.
apabila perkara sudah ada di tangan Pengadilan, benda ter-sebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh
Oditur atas izin Hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh Terdakwa atau kuasanya.
(2)
Uang hasil penjualan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipakai sebagai barang bukti.
(3)
Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4)
Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, dirampas untuk dipergunakan bagi
kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal 95

(1)
Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita atau
kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a.
kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b.
perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
atau
c.
perkara tersebut ditutup demi kepentingan umum, kepentingan militer atau kepentingan hukum, kecuali
apabila benda itu diduga diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu
tindak pidana.
(2)
Apabila perkara sudah diputus, benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka
yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali apabila menurut putusan Hakim benda itu dirampas untuk negara,
untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau apabila benda tersebut
masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Paragraf 4
Pemeriksaan Surat


Pasal 96


(1)
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi,
jawatan atau perusahaan komunikasi atau jawatan atau pengangkutan apabila benda tersebut dicurigai dengan
alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
(2)
Untuk kepentingan tersebut Penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala
jawatan atau per-usahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang
dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(3)
Hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan menurut ketentuan yang diatur pada ayat tersebut.
Pasal 97

(1)
Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang
diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara.

(2)
Apabila sesudah diperiksa, ternyata surat itu tidak ada hubungan-nya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup
rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi
atau jawatan atau perusahaan pengangkutan lain sesudah dibubuhi cap yang berbunyi "sudah dibuka oleh
Penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta identitas Penyidik.
(3)
Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan atas kekuatan sumpah jabatan
wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh isi surat yang dikembalikan.
Pasal 98

(1)
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dan Pasal 97.
(2)
Salinan berita acara tersebut oleh Penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala
jawatan atau perusahaan komunikasi, atau kepala jawatan atau perusahaan pengangkutan yang bersangkutan.
Paragraf 5
Pelaksanaan Penyidikan


Pasal 99


(1)
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut
diduga merupakan tindak pidana, wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.
(2)
Dalam hal yang menerima laporan atau pengaduan adalah Atasan yang Berhak Menghukum, ia segera
menyerahkan pelaksanaan penyidikan kepada Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b
atau huruf c untuk melakukan penyidikan.
(3)
Dalam hal yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c, mereka wajib melakukan penyidikan
dan segera melaporkannya kepada Atasan yang Berhak Menghukum Tersangka.
Pasal 100

(1)
Setiap orang yang menjadi korban atau yang mengalami atau menyaksikan atau melihat dan/atau mendengar
secara langsung tentang terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 angka 1 berhak mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyidik baik lisan maupun tertulis.
(2)
Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat yang dilakukan oleh seseorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 angka 1 untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman umum atau terhadap jiwa atau terhadap
hak milik, wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada Penyidik atau atasan yang berwenang.
(3)
Sesudah menerima laporan, Penyidik harus membuat surat tanda terima laporan atau pengaduan, diberikan
kepada yang bersangkutan dengan ditandatangani oleh pelapor dan penerima laporan.
Pasal 101

(1)
Penyidik sesudah selesai melakukan penyidikan wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Atasan
yang Berhak Menghukum, Perwira Penyerah Perkara, dan berkas aslinya kepada Oditur yang bersangkutan.
(2)
Perwira Penyerah Perkara dapat menghentikan penyidikan dengan surat keputusan berdasarkan pendapat hukum
dari Oditur.
Pasal 102

(1)
Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak menangkap, sedangkan setiap orang yang mempunyai
wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umu m wajib menangkap Tersangka guna
diserahkan langsung kepada Penyidik.
(2)
Sesudah menerima penyerahan Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik wajib segera
melakukan pemeriksaan dan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka penyidikan.
(3)
Sesudah menerima laporan tersebut, Penyidik segera datang ke tempat kejadian dan dapat melarang setiap orang
meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan belum selesai.
(4)
Pelanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan
dimaksud di atas selesai.
Pasal 103

(1)
Penyidik yang melakukan penyidikan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang
memanggil Tersangka dan Saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah, dengan
memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya surat panggilan dan tanggal seseorang
diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2)
Orang yang dipanggil wajib datang kepada Penyidik dan apabila ia tidak datang, Penyidik memanggil sekali lagi.
(3)
Apabila panggilan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi, Penyidik memerintahkan petugas
Polisi Militer untuk membawa Tersangka atau Saksi yang dipanggil secara paksa.
(4)
Panggilan kepada Tersangka atau Saksi Prajurit melalui komandan/kepala kesatuan.
(5)
Komandan/kepala kesatuan wajib memerintahkan anak buahnya yang dipanggil selaku Tersangka atau Saksi
untuk datang memenuhi panggilan tersebut.
Pasal 104


Apabila Tersangka atau Saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang
kepada Penyidik yang melakukan pemeriksaan, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat kediamannya atau di tempat
lain yang ditentukan Penyidik.

Pasal 105
Dalam hal seorang Tersangka melakukan suatu tindak pidana, sebelum dimulainya pemeriksaan oleh Penyidik,
Penyidik wajib memberitahukan kepada Tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia
dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh Penasihat Hukum.

Pasal 106

(1)
Dalam hal Penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap Tersangka, Penasihat Hukum dapat mengikuti
jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
(2)
Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, Penasihat Hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak
dapat mendengar pemeriksaan terhadap Tersangka.
Pasal 107

(1)
Saksi diperiksa tidak dengan disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat
hadir dalam pemeriksaan di Pengadilan.
(2)
Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib
memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3)
Dalam pemeriksaan, Tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya Saksi yang dapat menguntungkan
dirinya dan apabila ada, hal itu dicatat dalam berita acara.
(4)
Dalam hal Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetujui Penyidik, Saksi tersebut wajib dipanggil dan
diperiksa.
Pasal 108

(1)
Keterangan Tersangka dan/atau Saksi kepada Penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan/atau dalam
bentuk apapun.
(2)
Penyidik mencatat semua keterangan Tersangka dan/atau Saksi dalam berita acara secara teliti sesuai dengan
kata-kata yang dipergunakan oleh Tersangka atau Saksi.
(3)
Keterangan Tersangka dan/atau Saksi dicatat dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ditandatangani oleh Penyidik dan oleh yang memberi keterangan sesudah mereka menyetujui isinya.
(4)
Dalam hal Tersangka dan/atau Saksi tidak mau membubuhkan tandatangannya, Penyidik mencatat hal itu dalam
berita acara dengan menyebut alasannya.
(5)
Dalam pelanggaran lalu lintas, Penyidik membuat berita acara pelanggaran lalu lintas yang memuat jenis
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh Tersangka dan ditandatangani Penyidik dan Tersangka, selanjutnya
diserahkan kepada Pengadilan Militer/ Pengadilan Militer Tinggi melalui Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi
yang berwenang.
Pasal 109
Dalam hal Tersangka dan/atau Saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar
daerah hukum Penyidik yang melaksanakan penyidikan, pemeriksaan terhadap Tersangka dan/atau Saksi dapat
dibebankan kepada Penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal Tersangka dan/atau Saksi tersebut.

Pasal 110

(1)
Dalam hal Penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat seorang ahli atau seorang yang memiliki
keahlian khusus.
(2)
Seorang ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah atau janji di muka Penyidik bahwa ia
akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya, kecuali apabila karena harkat serta
martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia, ia dapat menolak untuk memberikan
keterangan yang diminta.
Pasal 111
Penyidik wajib segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan,
dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari
Tersangka dan/atau Saksi, keterangan Tersangka dan/atau Saksi, catatan mengenai akta dan/atau benda serta segala
sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyidikan.

Pasal 112
Dalam hal Tersangka ditahan dalam waktu 1 (satu) hari sesudah perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai
diperiksa oleh Penyidik.

Pasal 113

(1)
Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83 ayat (5).

(2)
Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan,
kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh Penyidik maupun penghuni dan/atau kepala desa atau lurah
atau ketua lingkungan dengan 2 (dua) orang Saksi.
(3)
Dalam hal Tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu dicatat dalam berita
acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 114

(1)
Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan
tempat yang bersangkutan.
(2)
Penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu untuk tidak meninggalkan tempat tersebut
selama penggeledahan berlangsung.
Pasal 115

(1)
Dalam hal Penyidik melakukan penyitaan, Penyidik membuat berita acara dengan diberi tanggal dan
ditandatangani oleh Penyidik maupun orang atau keluarganya dari siapa benda tersebut disita, dan/atau kepala
desa atau lurah atau ketua lingkungan dengan 2 (dua) orang Saksi.
(2)
Dalam hal orang darimana benda tersebut disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal
tersebut dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
(3)
Salinan dari berita acara itu disampaikan oleh Penyidik kepada orang darimana benda tersebut disita atau
keluarganya dan kepala desa atau lurah.
Pasal 116

(1)
Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan
dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar, dan sebagainya, Penyidik segera pergi ke tempat yang
dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar, dan sebagainya dan apabila perlu
menyitanya.
(2)
Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 115.
Pasal 117

(1)
Dalam hal diterima pengaduan bahwa suatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh
Penyidik, untuk kepentingan penyidikan, oleh Penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari
seorang ahli.
(2)
Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan, Penyidik dapat datang atau dapat
meminta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang
disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan.
(3)
Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak dapat dipisahkan dari
daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116, Penyidik dapat meminta supaya daftar itu seluruhnya selama
waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan
tanda penerimaan.
(4)
Dalam hal surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menjadi bagian dari suatu daftar, pejabat penyimpan
umum membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima kembali yang di bagian bawah dari
salinan itu pejabat penyimpan umum mencatat apa sebab salinan itu dibuat.
(5)
Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat permintaan tanpa alasan
yang sah, Penyidik berwenang mengambilnya.
(6)
Semua biaya yang dikeluarkan untuk penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) dibebankan pada dan sebagai biaya perkara.
Pasal 118

(1)
Dalam hal Penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan maupun mati,
yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter, dan/atau ahli lainnya.
(2)
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu
disebut dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat.
(3)
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara
baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak,
dan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.
Pasal 119

(1)
Dalam hal sangat diperlukan untuk keperluan pembuktian dan bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, Penyidik
wajib memberitahukannya terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2)
Dalam hal keluarga korban keberatan, Penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan
tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
(3)
Apabila dalam waktu 2 (dua) hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahukan
tidak diketemukan, Penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118.

Pasal 120

Dalam hal Penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, pelaksanaannya menurut
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) dan Pasal 119 ayat (1).

Pasal 121
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pelaksanaan penyidikan ditanggung oleh negara.

Bagian Kedua
Penyerahan Perkara


Pasal 122


(1)
Perwira Penyerah Perkara adalah:
a.
Panglima;
b.
Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Laut, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(2)
Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk komandan/kepala kesatuan
bawahan masing-masing paling rendah setingkat dengan Komandan Komando Resor Militer, untuk bertindak
selaku Perwira Penyerah Perkara.
Pasal 123

(1)
Perwira Penyerah Perkara mempunyai wewenang:
a.
memerintahkan Penyidik untuk melakukan penyidikan;
b.
menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan;
c.
memerintahkan dilakukannya upaya paksa;
d.
memperpanjang penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78;
e.
menerima atau meminta pendapat hukum dari Oditur tentang penyelesaian suatu perkara;
f.
menyerahkan perkara kepada Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili;
g.
menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit; dan
h.
menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer.
(2)
Kewenangan penutupan perkara demi kepentingan umum/militer hanya ada pada Perwira Penyerah Perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a.
(3)
Panglima selaku Perwira Penyerah Perkara tertinggi melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan
wewenang penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara lainnya.
Pasal 124

(1)
Oditur sesudah menerima hasil penyidikan dari Penyidik segera mempelajari dan meneliti apakah hasil penyidikan
sudah lengkap atau belum.
(2)
Dalam hal persyaratan formal kurang lengkap, Oditur meminta supaya Penyidik segera melengkapinya.
(3)
Apabila hasil penyidikan ternyata belum cukup, Oditur melakukan penyidikan tambahan untuk melengkapi atau
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi.
(4)
Dalam hal berkas perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan, berita acara pemeriksaan Tersangka
tidak merupakan persyaratan lengkapnya suatu berkas perkara.
Pasal 125

(1)
Kecuali perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan sesudah meneliti berkas perkara, Oditur membuat
dan menyampaikan pendapat hukum kepada Perwira Penyerah Perkara yang dapat berupa permintaan agar
perkara diserahkan kepada Pengadilan atau diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit, atau ditutup demi
kepentingan hukum, kepentingan umum, atau kepentingan militer.
(2)
Dalam hal Perwira Penyerah Perkara tidak sependapat dengan Oditur, ia wajib memberikan jawaban tertulis.
Pasal 126

(1)
Berdasarkan pendapat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1), Perwira Penyerah Perkara
mengeluarkan:
a.
Surat Keputusan Penyerahan Perkara;
b.
Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit; atau
c.
Surat Keputusan Penutupan Perkara demi kepentingan hukum.
(2)
Dalam perkara tertentu apabila kepentingan umum atau kepentingan militer menghendakinya, Panglima dapat
mempertimbangkan suatu penutupan perkara dengan mengeluarkan surat keputusan penutupan perkara demi
kepentingan umum atau kepentingan militer.
(3)
Sebelum mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Panglima mendengar pendapat dari Oditur
Jenderal dan apabila dipandang perlu juga dari pejabat lain.
Pasal 127

(1)
Apabila Perwira Penyerah Perkara menentukan bahwa perkara akan diselesaikan di luar Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, sedangkan Oditur berpendapat
bahwa untuk kepentingan peradilan perkara perlu diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau

Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, dan apabila Oditur tetap pada pendiriannya, Oditur mengajukan
permohonan dengan disertai alasan-alasannya kepada Perwira Penyerah Perkara tersebut, supaya perbedaan
pendapat diputuskan oleh Pengadilan Militer Utama dalam sidang.

(2)
Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengirimkan permohonan Oditur tersebut
dan berkas perkara yang disertai dengan pendapatnya kepada Pengadilan Militer Utama dan sesudah mendengar
pendapat Oditur Jenderal di persidangan Pengadilan Militer Utama, dengan putusannya Hakim menyatakan
perkara tersebut diajukan atau tidak diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum.
(3)
Apabila Pengadilan Militer Utama memutuskan perkara tersebut harus diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, Perwira Penyerah Perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) segera melaksanakan penyerahan perkara tersebut sesudah menerima berkas perkara
yang bersangkutan dari Pengadilan Militer Utama.
Pasal 128
Oditur dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang
sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:

a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan
halangan terhadap penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain; atau
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, tetapi satu dengan yang lain itu ada
hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Pasal 129
Dalam hal Oditur menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa
orang Tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, Oditur dapat
melakukan penuntutan terhadap para Terdakwa secara terpisah.

Pasal 130

(1)
Penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf f
dilaksanakan oleh Oditur dengan melimpahkan berkas perkara kepada Pengadilan yang berwenang dengan
disertai surat dakwaan.
(2)
Oditur membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda-tangani serta berisi:
a.
nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis
kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal Terdakwa;
b.
uraian fakta secara cermat, jelas, dan lengkap, mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
(3)
Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b batal demi hukum.
(4)
Salinan Surat Keputusan Penyerahan Perkara dan surat dakwaan disampaikan kepada Tersangka atau Penasihat
Hukumnya pada saat yang bersamaan dengan penyampaian Surat Keputusan Penyerahan Perkara dan surat
dakwaan tersebut ke Pengadilan, dan tembusannya disampaikan kepada Penyidik.
Pasal 131

(1)
Oditur dapat mengubah surat dakwaan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang Pengadilan pada tingkat
pertama/Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dimulai dengan tujuan untuk menyempurnakan dan hanya dapat
dilakukan 1 (satu) kali.
(2)
Salinan perubahan surat dakwaan disampaikan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan Perwira
Penyerah Perkara.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Paragraf 1
Persiapan Persidangan


Pasal 132
Sesudah Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menerima pelimpahan berkas perkara dari Oditurat
Militer/Oditurat Militer Tinggi, Kepala Pengadilan Militer/Kepala Pengadilan Militer Tinggi segera mempelajarinya,
apakah perkara itu termasuk wewenang Pengadilan yang dipimpinnya.

Pasal 133

(1)
Dalam hal Kepala Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi berpendapat bahwa perkara pidana itu tidak
termasuk wewenang dari Pengadilan yang dipimpinnya, ia membuat penetapan yang memuat alasannya dan
segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang
bersangkutan untuk dilimpahkan kepada Pengadilan Militer/ Pengadilan Militer Tinggi lain yang berwenang.
(2)
Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang bersangkutan menyampaikan penetapan beserta berkas perkaranya
kepada Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi di daerah hukum Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi lain
yang tercantum dalam penetapan itu.

(3)
Salinan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Terdakwa atau Penasihat
Hukumnya dan Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 134

(1)
Dalam hal Oditur berkeberatan terhadap penetapan Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 133, ia dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi
dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah penetapan diterima.
(2)
Tidak dipenuhinya waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan batalnya perlawanan.
(3)
Perlawanan tersebut yang memuat alasannya disampaikan melalui Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi
yang bersangkutan.
(4)
Dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sesudah perlawanan diterima, Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi
wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang/Pengadilan Militer
Utama.
Pasal 135

(1)
Pengadilan Militer Tinggi/Pengadilan Militer Utama dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sesudah
menerima perlawanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) dapat menguatkan atau menolak
perlawanan itu dengan penetapan.
(2)
Dalam hal Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menguatkan perlawanan Oditur, Pengadilan tersebut
dengan penetapannya membatalkan penetapan Pengadilan Militer/ Pengadilan Militer Tinggi dan selanjutnya
memerintahkan Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara
tersebut.
(3)
Apabila Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak perlawanan Oditur, Pengadilan tersebut
dengan penetapannya mengirimkan berkas perkara beserta surat lampirannya kepada Pengadilan
Militer/Pengadilan Militer Tinggi lain yang berwenang.
(4)
Salinan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada Oditurat
Militer/Oditurat Militer Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 136

(1)
Dalam hal Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 berpendapat bahwa suatu perkara termasuk
wewenangnya, Kepala Pengadilan tersebut menunjuk Majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara yang
bersangkutan.
(2)
Hakim Ketua yang ditunjuk sesudah mempelajari berkas perkara menetapkan hari sidang dan memerintahkan
supaya Oditur memanggil Terdakwa dan Saksi.
Paragraf 2
Penahanan


Pasal 137


(1)
Dalam pemeriksaan sidang tingkat pertama pada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi, Hakim Ketua
berwenang:
a.
apabila Terdakwa berada dalam tahanan sementara, wajib menetapkan apakah Terdakwa tetap ditahan atau
dikeluarkan dari tahanan sementara;
b.
guna kepentingan pemeriksaan, mengeluarkan perintah untuk menahan Terdakwa paling lama 30 ( tiga
puluh) hari.
(2)
Waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang
belum selesai, dapat diperpanjang oleh Kepala Pengadilan Militer/Kepala Pengadilan Militer Tinggi untuk paling
lama 60 (enam puluh) hari.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya Terdakwa dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, apabila kepentingan
pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4)
Sesudah waktu 90 (sembilan puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum diputus, Terdakwa harus dikeluarkan
dari tahanan demi hukum.
(5)
Penahanan/perpanjangan penahanan terhadap Terdakwa hanya dapat dikenakan apabila memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2).
(6)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku juga pada
pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama.
Pasal 138

(1)
Dikecualikan dari waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, guna kepentingan pemeriksaan,
penahanan terhadap Terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan
karena:

a.
Terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter; atau
b.
perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 (sembilan) tahun atau lebih.
(2)
Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari
dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3)
Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan
dalam tingkat:
a.
pemeriksaan tingkat pertama yang dilaksanakan oleh Pengadilan Militer diberikan oleh Kepala Pengadilan
Militer Tinggi;
b.
pemeriksaan tingkat pertama yang dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Tinggi diberikan oleh Kepala
Pengadilan Militer Utama;
c.
pemeriksaan tingkat banding yang dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer
Utama diberikan oleh Mahkamah Agung.
(4)
Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan Terdakwa dikeluarkan dari tahanan
sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, apabila kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(6)
Sesudah waktu 60 (enam puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus,
Terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(7)
Terhadap perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Terdakwa dapat mengajukan keberatan
dalam pemeriksaan tingkat pertama dan dalam pemeriksaan tingkat banding kepada Ketua Mahkamah Agung.
Paragraf 3
Pemanggilan


(1) Pasal 139
(1)
Berdasarkan penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2), Oditur mengeluarkan surat
panggilan kepada Terdakwa dan Saksi yang memuat hari, tanggal, waktu, tempat sidang, dan untuk perkara apa
mereka dipanggil.
(2)
Surat panggilan harus sudah diterima oleh Terdakwa atau Saksi paling lambat 3 (tiga) hari sebelum sidang
dimulai.
Pasal 140

(1)
Pemanggilan untuk datang ke sidang Pengadilan dimaksud dalam Pasal 139 dilakukan secara sah, apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada:
a.
Terdakwa dan/atau Saksi Prajurit melalui Atasan yang Berhak Menghukum atau Atasan langsungnya yang
selanjutnya ia wajib memerintahkan Terdakwa dan/atau Saksi untuk menghadap ke sidang Pengadilan;
b.
Terdakwa dan/atau Saksi Prajurit yang berada dalam tahanan karena perkara lain melalui pejabat yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan penahanan tersebut;
c.
Terdakwa dan/atau Saksi orang sipil langsung kepada yang bersangkutan di tempat tinggalnya atau tempat
kediaman terakhir atau apabila Terdakwa dan/atau Saksi sedang tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat
kediaman terakhir melalui instansi kepolisian setempat atau kepala desa atau lurah atau ketua lingkungan;
d.
Terdakwa dan/atau Saksi orang sipil yang berada dalam tahanan karena perkara lain, melalui instansi yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan penahanan dan atas izin pejabat yang memerintahkan penahanan
tersebut.
(2)
Apabila yang dipanggil di luar negeri, pemanggilan dilakukan melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat
orang yang dipanggil itu biasa berdiam.
(3)
Penerimaan surat panggilan oleh Terdakwa, Saksi, atau orang lain, dilakukan dengan surat tanda terima.
(4)
Atasan yang Berhak Menghukum atau Atasan langsung Terdakwa dan/atau Saksi atau pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b sesudah menerima surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memerintahkan Terdakwa dan/atau Saksi untuk menghadap ke sidang Pengadilan.
Bagian Keempat
Acara Pemeriksaan Biasa
Paragraf 1
Pemeriksaan dan Pembuktian


Pasal 141


(1)
Pada hari sidang yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) Pengadilan bersidang.
(2)
Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum,
kecuali dalam perkara kesusilaan sidang dinyatakan tertutup untuk umum.
(3)
Dalam perkara yang menyangkut rahasia militer dan/atau rahasia negara, Hakim Ketua dapat menyatakan sidang
tertutup untuk umum.
(4)
Hakim Ketua memimpin pemeriksaan di sidang Pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia
yang dimengerti oleh Terdakwa dan Saksi.

(5)
Apabila Terdakwa dan/atau Saksi tidak memahami bahasa Indonesia, bisu dan/atau tuli, Hakim Ketua dapat
menunjuk seorang juru bahasa atau penerjemah yang bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan
benar.
(6)
Apabila Terdakwa dan/atau Saksi bisu dan/atau tuli tetapi dapat menulis, pemeriksaan terhadapnya dilakukan
secara tertulis dan harus dibacakan.
(7)
Dalam hal seseorang tidak boleh menjadi Saksi dalam suatu perkara, ia tidak boleh menjadi juru bahasa atau
penerjemah.
(8)
Hakim Ketua wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan Terdakwa
dan/atau Saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
(9)
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), dan ayat (8) mengakibatkan
batalnya putusan demi hukum.
(10) Dalam perkara desersi yang Terdakwanya tidak diketemukan, pemeriksaan dilaksanakan tanpa hadirnya
Terdakwa.
Pasal 142

(1)
Hakim Ketua memerintahkan supaya Terdakwa dipanggil masuk ke ruang sidang, dan dihadapkan dengan
pengawalan tetapi dalam keadaan bebas.
(2)
Apabila dalam pemeriksaan Terdakwa yang tidak ditahan dan tidak hadir pada hari sidang yang sudah
ditetapkan, Hakim Ketua meneliti apakah Terdakwa sudah dipanggil secara sah.
(3)
Apabila Terdakwa dipanggil secara tidak sah, Hakim Ketua menunda persidangan dan memerintahkan supaya
Terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
(4)
Apabila Terdakwa ternyata sudah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah,
Hakim Ketua memerintahkan supaya Terdakwa dihadirkan secara paksa pada sidang berikutnya.
(5)
Apabila Terdakwa lebih dari 1 (satu) orang dan tidak semua hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap yang
hadir dapat dilangsungkan.
(6)
Panitera mencatat laporan dari Oditur mengenai pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
kemudian menyampaikannya kepada Hakim Ketua.
Pasal 143
Perkara tindak pidana desersi sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, yang
Terdakwanya melarikan diri dan tidak diketemukan lagi dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut serta sudah
diupayakan pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah, tetapi tidak hadir di sidang tanpa suatu alasan, dapat
dilakukan pemeriksaan dan diputus tanpa hadirnya Terdakwa.

Pasal 144

(1)
Pada permulaan sidang, Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa tentang nama lengkap, pangkat, nomor
registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan
tempat tinggal, kemudian mengingatkan Terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan
dilihatnya di sidang.
(2)
Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa tentang Penasihat Hukum yang akan mendampinginya dan apabila
ada, Hakim Ketua meminta surat perintah atau surat izin tentang penunjukan Penasihat Hukumnya dan surat
kuasa dari Terdakwa kepada Penasihat Hukumnya supaya diserahkan dan apabila Penasihat Hukum ditunjuk
oleh Pengadilan, Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa tentang kesediaannya didampingi oleh Penasihat
Hukum tersebut di persidangan.
(3)
Hakim Ketua memerintahkan Oditur supaya membacakan surat dakwaan dengan berdiri dan memerintahkan
Terdakwa supaya berdiri dalam keadaan sikap sempurna.
(4)
Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa apakah ia benar-benar mengerti isi surat dakwaan itu, dan apabila
Terdakwa belum mengerti atau kurang jelas, Hakim Ketua memerintahkan supaya Oditur memberi penjelasan.
Pasal 145

(1)
Dalam hal Terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili
perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, sesudah diberi kesempatan
kepada Oditur untuk menyatakan pendapatnya, Majelis Hakim mengadakan musyawarah untuk
mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil putusan.
(2)
Apabila Majelis Hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut,
sebaliknya dalam hal keberatan itu tidak diterima atau Hakim berpendapat keberatan tersebut baru dapat
diputuskan sesudah selesai pemeriksaan, sidang dilanjutkan.
Pasal 146

(1)
Terhadap putusan Majelis Hakim yang menyatakan keberatan diterima, Oditur dapat mengajukan perlawanan
kepada Pengadilan tingkat banding melalui Pengadilan yang bersangkutan dan paling lambat dalam waktu 7
(tujuh) hari sejak perlawanan diterima, Pengadilan wajib meneruskan perkara tersebut kepada Pengadilan tingkat
banding.
(2)
Dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sesudah diterima perlawanan Oditur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pengadilan tingkat banding dengan putusannya menerima atau menolak keberatan Oditur.

(3)
Dalam hal perlawanan Oditur diterima, Pengadilan tingkat banding dengan putusannya membatalkan putusan
Pengadilan yang bersangkutan dengan memerintahkan pemeriksaan tetap dilanjutkan, sebaliknya apabila
perlawanan Oditur ditolak, Pengadilan tingkat banding menguatkan putusan Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 147

(1)
a. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh Terdakwa atau Penasihat
Hukumnya kepada Pengadilan tingkat banding, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah ia menerima
perkara dan membenarkan perlawanan Terdakwa, Pengadilan tingkat banding dengan putusannya
membatalkan putusan Pengadilan yang bersangkutan dan menunjuk Pengadilan lain yang berwenang;
b.
Pengadilan tingkat banding menyampaikan salinan putusan tersebut kepada Pengadilan yang semula
mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada Oditurat yang
melimpahkan perkara itu.
(2)
Apabila Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di daerah hukum
Pengadilan tingkat banding lain, Oditurat mengirimkan berkas perkara tersebut kepada Oditurat di daerah hukum
Pengadilan yang berwenang itu.
Pasal 148
Hakim Ketua karena jabatannya, walaupun tidak ada keberatan, sesudah mendengar pendapat Oditur dan Terdakwa
atau Penasihat Hukumnya dengan putusannya yang memuat alasan-alasannya dapat menyatakan Pengadilan tidak
berwenang.

Pasal 149

(1)
Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili suatu perkara apabila ia terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai dengan Hakim
Ketua, salah seorang Hakim Anggota, Oditur, atau Panitera.
(2)
Hakim Ketua, Hakim Anggota, Oditur, atau Panitera wajib mengundurkan diri dari menangani perkara apabila ia
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun
sudah bercerai dengan Terdakwa atau dengan Penasihat Hukum.
(3)
Apabila dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), mereka harus diganti dan apabila
tidak diganti sedangkan perkara sudah diputus, perkara wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 150

(1)
Tidak seorang Hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung
maupun tidak langsung.
(2)
Dalam hal seorang Hakim mengadili suatu perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim yang
bersangkutan wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan Oditur, Terdakwa,
atau Penasihat Hukum.
(3)
Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat Pengadilan yang
berwenang yang menetapkannya.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku juga bagi Oditur dan Panitera.
Pasal 151
Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau
tidaknya Terdakwa.

Pasal 152

(1)
Hakim Ketua meneliti apakah semua Saksi yang dipanggil sudah hadir dan memberi perintah untuk mencegah
jangan sampai Saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang.
(2)
Dalam hal Saksi tidak hadir, meskipun sudah dipanggil dengan sah dan Hakim Ketua mempunyai cukup alasan
untuk menduga bahwa Saksi itu tidak akan mau hadir, Hakim Ketua dapat memerintahkan supaya Saksi tersebut
dihadapkan ke persidangan.
Pasal 153
Pemeriksaan perkara di persidangan dapat dimulai dengan pemeriksaan Saksi atau Terdakwa terlebih dahulu menurut
pertimbangan Hakim Ketua.

Pasal 154
(1) a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang dengan pengawalan;
b. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut pertimbangan Hakim Ketua;
c. Dalam hal ada Saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan Terdakwa yang tercantum dalam
surat pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh Terdakwa atau Penasihat Hukum atau Oditur selama
berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, Hakim Ketua wajib mendengar keterangan
Saksi tersebut.


(2)
Hakim Ketua menanyakan kepada Saksi tentang nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan,
kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal, selanjutnya
apakah ia kenal dengan Terdakwa sebelum Terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dan
apakah ia terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat keberapa dengan Terdakwa, dan
apakah ia ada hubungan suami atau istri dengan Terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja
dengannya.
(3)
Sebelum memberi keterangan, Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masingmasing,
bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
(4)
Apabila Pengadilan menganggap perlu, seorang Saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah Saksi atau
ahli itu selesai memberi keterangan.
(5)
Dalam hal Saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4), pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan dan ia dengan penetapan Hakim Ketua
dapat disandera di rumah tahanan militer paling lama 14 (empat belas) hari.
(6)
Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut sudah lampau dan Saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah
atau mengucapkan janji, keterangan yang sudah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan
keyakinan Hakim.
Pasal 155

(1)
Apabila Saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah
tidak hadir di sidang atau tidak dapat dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena
sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, keterangan yang sudah diberikan itu dibacakan.
(2)
Apabila keterangan itu sebelumnya sudah diberikan di bawah sumpah, keterangan itu disamakan nilainya
dengan keterangan Saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Pasal 156
Apabila keterangan Saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, Hakim Ketua
mengingatkan Saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita
acara pemeriksaan sidang.

Pasal 157

(1)
Hakim Ketua dan Hakim Anggota dapat meminta kepada Saksi segala keterangan yang dipandang perlu untuk
mendapatkan kebenaran.
(2)
Oditur, Terdakwa atau Penasihat Hukum dengan perantaraan Hakim Ketua diberi kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan kepada Saksi.
(3)
Hakim Ketua dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh Oditur, Terdakwa atau Penasihat Hukum kepada
Saksi dengan memberikan alasannya.
(4)
Setiap kali seorang Saksi selesai memberikan keterangan, Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa bagaimana
pendapatnya tentang keterangan tersebut.
(5)
Oditur atau Penasihat Hukum dengan perantaraan Hakim Ketua diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan
kepada Saksi dan Terdakwa.
(6)
Hakim Ketua dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh Oditur atau Penasihat Hukum kepada Saksi atau
Terdakwa dengan memberikan alasannya.
(7)
Hakim dan Oditur atau Terdakwa atau Penasihat Hukum dengan perantaraan Hakim Ketua, dapat saling
menghadapkan Saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka masing-masing.
Pasal 158

(1)
Sesudah Saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali Hakim Ketua memberi izin untuk
meninggalkannya.
(2)
Izin itu tidak diberikan apabila Oditur atau Terdakwa atau Penasihat Hukum mengajukan permintaan supaya Saksi
itu tetap menghadiri sidang.
(3)
Sesudah Saksi memberi keterangan, Terdakwa atau Penasihat Hukum atau Oditur dapat mengajukan permintaan
kepada Hakim Ketua, supaya di antara Saksi tersebut yang tidak mereka kehendaki kehadirannya dikeluarkan dari
ruang sidang, supaya Saksi lainnya dipanggil masuk oleh Hakim Ketua untuk didengar keterangannya, baik
seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya Saksi yang dikeluarkan tersebut.
(4)
Apabila dipandang perlu, Hakim Ketua karena jabatannya dapat memerintahkan supaya Saksi yang sudah
didengar keterangannya dikeluarkan dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan Saksi yang lain.
(5)
Para Saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap.
Pasal 159
Kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini, tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri
sebagai Saksi:

a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari Terdakwa atau
yang bersama-sama sebagai Terdakwa;
b. saudara dari Terdakwa atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka
yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara Terdakwa sampai derajat ketiga;


c. suami atau istri Terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa.
Pasal 160
(1)
Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 menghendakinya dan Oditur serta Terdakwa secara
tegas menyetujuinya, mereka dapat memberi keterangan di bawah sumpah.
(2)
Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa
sumpah.
Pasal 161

(1)
Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat meminta
dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai Saksi tentang hal yang dipercayakan
kepadanya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Pasal 162
Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:

a.
anak yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin;
b.
orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pasal 163

(1)
Hakim Ketua dapat mendengar keterangan Saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya Terdakwa, untuk itu ia
memerintahkan Terdakwa keluar dari ruang sidang.
(2)
Apabila Hakim Ketua memerintahkan Terdakwa keluar dari ruang sidang dan Saksi sudah didengar
keterangannya, pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum Terdakwa diperintahkan masuk kembali ke
ruang sidang dan kepadanya diberitahukan semua hal yang pada waktu ia tidak hadir.
Pasal 164

(1)
Apabila keterangan Saksi di sidang diduga palsu, Hakim Ketua memperingatkan dengan sungguh-sungguh
kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat
dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
(2)
Apabila Saksi tetap pada keterangannya itu, Hakim Ketua karena jabatannya atau atas permintaan Oditur atau
Terdakwa dapat memberi perintah penahanan terhadap Saksi untuk selanjutnya dilakukan penyidikan dan
dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
(3)
Dalam hal yang demikian, oleh Panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan
Saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan bahwa keterangan Saksi itu palsu dan berita acara tersebut
ditandatangani oleh Hakim Ketua serta Panitera dan segera diserahkan kepada Oditur untuk diselesaikan
menurut ketentuan Undang-undang ini.
(4)
Apabila perlu, Hakim Ketua menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana
terhadap Saksi itu selesai.
Pasal 165

(1)
Apabila Terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya,
Hakim Ketua menganjurkan untuk menjawab dan sesudah itu pemeriksaan dilanjutkan.
(2)
Apabila Terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, Hakim Ketua
menegurnya dan apabila teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan supaya Terdakwa dikeluarkan dari ruang
sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya Terdakwa.
(3)
Dalam hal Terdakwa secara terus-menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban
sidang, Hakim Ketua mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan
hadirnya Terdakwa.
Pasal 166

(1)
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib
memberikan keterangan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya demi keadilan.
(2)
Semua ketentuan untuk Saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan
bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 167

(1)
Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduk persoalan yang timbul di sidang Pengadilan, Hakim Ketua dapat
meminta keterangan ahli dan dapat pula meminta supaya diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
(2)
Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari Terdakwa atau Penasihat Hukum terhadap hasil keterangan ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim memerintahkan supaya hal itu dilakukan penelitian ulang.
(3)
Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4)
Penelitian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi semula dengan
komposisi personel yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu.

Pasal 168

(1)
Hakim Ketua memperlihatkan kepada Terdakwa dan apabila perlu juga kepada Saksi segala barang bukti dan
menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 94 serta menanyakan sangkut paut barang itu dengan perkara untuk memperoleh kejelasan tentang
peristiwanya.
(2)
Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, Hakim Ketua membacakan atau memperlihatkan surat atau berita
acara yang bersangkut paut dengan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Terdakwa
dan/atau Saksi, dan selanjutnya meminta keterangan seperlunya tentang hal itu.
Pasal 169
Pertanyaan yang bersifat menjerat, mempengaruhi atau bertentangan dengan kehormatan Prajurit tidak boleh diajukan
baik kepada Terdakwa maupun kepada Saksi.

Pasal 170

(1)
Selama pemeriksaan di sidang, apabila Terdakwa tidak ditahan, Hakim Ketua dapat memerintahkan dengan
penetapannya untuk menahan Terdakwa apabila dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137
ayat (1) huruf b dan terdapat alasan cukup untuk itu.
(2)
Dalam hal Terdakwa ditahan, Hakim Ketua dapat memerintahkan dengan penetapannya untuk membebaskan
Terdakwa apabila terdapat alasan cukup untuk itu dengan mengingat Pasal 137 ayat (3).
Pasal 171
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah
yang bersalah melakukannya.

Pasal 172

(1)
Alat bukti yang sah ialah:
a.
keterangan saksi;
b.
keterangan ahli;
c.
keterangan terdakwa;
d.
surat; dan
e.
petunjuk.
(2)
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 173

(1)
Keterangan Saksi sebagai alat bukti adalah keterangan yang dinyatakan Saksi di sidang Pengadilan.
(2)
Keterangan seorang Saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa Terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah
lainnya.
(4)
Keterangan beberapa Saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan
sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan Saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5)
Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan Saksi.
(6)
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang Saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a.
persesuaian antara keterangan Saksi satu dan yang lain;
b.
persesuaian antara keterangan Saksi dan alat bukti lain;
c.
alasan yang mungkin dipergunakan oleh Saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; dan
d.
cara hidup dan kesusilaan Saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat
tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7)
Keterangan Saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, tetapi
apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari Saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai
tambahan alat bukti sah yang lain.
Pasal 174
Keterangan ahli sebagai alat bukti ialah keterangan yang dinyatakan seorang ahli di sidang Pengadilan.

Pasal 175

(1)
Keterangan Terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan yang dinyatakan Terdakwa di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri.
(2)
Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di
sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya.

(3)
Keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4)
Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, tetapi harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Pasal 176
Surat sebagai alat bukti yang sah, apabila dibuat atas sump ah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, berupa:

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat
mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau
sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku apabila ada hubungannya dengan isi alat pembuktian yang lain.

Pasal 177

(1)
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dan yang lain
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa sudah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.
(2)
Petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a.
keterangan saksi;
b.
keterangan terdakwa; dan/atau
c.
surat.
(3)
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim
dengan arif dan bijaksana sesudah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan
berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 178

(1)
Dalam hal seorang Hakim atau Oditur berhalangan, Kepala Pengadilan yang berwenang atau Kepala Oditurat
yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang berhalangan tersebut.
(2)
Apabila dalam Pengadilan Militer Pertempuran Hakim atau Oditur berhalangan, Hakim atau Oditur Pengganti
segera menggantikannya.
(3)
Dalam hal Penasihat Hukum dalam sidang Pengadilan berhalangan, Penasihat Hukum Pengganti segera
menggantikannya, dan apabila penggantinya tidak ada atau juga berhalangan sidang berjalan terus.
Pasal 179
Hakim di sidang atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dapat
memberikan penjelasan hukum terhadap perkara tersebut.

Pasal 180

(1)
Siapapun yang dipidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan bebas dari segala dakwaan
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada negara.
(2)
Dalam hal Terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara
berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan Pengadilan, biaya perkara dibebankan pada negara.
Pasal 181
Tenggang waktu menurut Hukum Acara Pidana Militer sebagaimana dimaksud dalam Bab IV ini diperhitungkan mulai
pada hari berikutnya.

Paragraf 2
Penuntutan dan Pembelaan

Pasal 182

(1)
Sesudah pemeriksaan dinyatakan selesai, Oditur mengajukan tuntutan pidana.
(2)
Terhadap tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Terdakwa dan/atau Penasihat Hukum mengajukan
pembelaannya yang dapat dijawab oleh Oditur, dengan ketentuan bahwa Terdakwa atau Penasihat Hukum selalu
mendapat giliran terakhir.
(3)
Tuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pemb elaan dilakukan secara tertulis dan sesudah dibacakan segera
diserahkan kepada Hakim Ketua dan salinannya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan.
(4)
Dalam hal perkara yang mudah pembuktiannya, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dapat dilakukan secara
lisan, dan Panitera harus mencatatnya dalam berita acara persidangan.
(5)
Apabila acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sudah selesai, Hakim Ketua
menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas

kewenangan Hakim Ketua karena jabatannya maupun atas permintaan Oditur, atau Terdakwa atau Penasihat
Hukum dengan memberikan alasannya.

Paragraf 3
Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Rugi


Pasal 183


(1)
Apabila suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh
Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menimbulkan kerugian bagi orang lain, Hakim Ketua atas
permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti rugi kepada perkara
pidana itu.
(2)
Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan paling lambat sebelum Oditur mengajukan
tuntutan pidana.
Pasal 184

(1)
Apabila pihak yang dirugikan meminta penggabungan perkara gugatannya kepada perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 183, Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menimbang tentang kewenangannya
untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan, dan tentang hukuman penggantian biaya
yang sudah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
(2)
Kecuali dalam hal Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan Hakim hanya
memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang sudah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
(3)
Putusan mengenai ganti rugi dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya
juga sudah mendapat kekuatan hukum tetap.
Pasal 185

(1)
Apabila terjadi penggabungan gugatan ganti rugi kepada perkara pidana, penggabungan itu dengan sendirinya
berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.
(2)
Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, permintaan banding mengenai
putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Pasal 186
Kepala Kepaniteraan Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi karena jabatannya adalah juru sita, khusus untuk
pelaksanaan putusan ganti rugi akibat penggabungan gugatan ganti rugi kepada perkara pidana.

Pasal 187
Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti rugi sepanjang dalam Undang-undang ini
tidak diatur lain.

Paragraf 4
Musyawarah dan Putusan


Pasal 188


(1)
Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (5), Hakim mengadakan
musyawarah secara tertutup dan rahasia.
(2)
Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu
yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
(3)
Dalam musyawarah tersebut, Hakim Ketua mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang termuda sampai
Hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah Hakim Ketua dan semua
pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.
(4)
Pada asasnya putusan dalam musyawarah merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali apabila hal itu sesudah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
putusan diambil dengan suara terbanyak;
b.
apabila ketentuan tersebut pada huruf a tidak dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim
yang paling menguntungkan Terdakwa.
(5)
Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dicatat dalam buku himpunan putusan
yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia.
(6)
Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain, yang sebelumnya
harus diberitahukan kepada Oditur, Terdakwa, atau Penasihat Hukumnya.
Pasal 189

(1)
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan Terdakwa atas perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, Terdakwa diputus bebas dari segala
dakwaan.
(2)
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan
itu tidak merupakan suatu tindak pidana, Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

(3)
Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Terdakwa yang ada dalam status tahanan
diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga, kecuali karena alasan lain yang sah Terdakwa perlu ditahan.
(4)
Dalam hal Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), apabila perbuatan yang dilakukan Terdakwa menurut penilaian
Hakim tidak layak terjadi didalam ketertiban atau disiplin Prajurit, Hakim memutus perkara dikembalikan kepada
Perwira Penyerah Perkara untuk diselesaikan menurut saluran Hukum Disiplin Prajurit.
Pasal 190

(1)
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, Pengadilan menjatuhkan pidana.
(2)
Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, apabila Terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya Terdakwa
tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan terdapat alasan cukup
untuk itu.
(3)
Dalam hal Terdakwa ditahan, Pengadilan dalam menjatuhkan putusannya dapat menetapkan Terdakwa tetap ada
dalam tahanan atau membebaskannya apabila terdapat alasan cukup untuk itu.
(4)
Waktu penahanan wajib dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
(5)
Dalam hal Terdakwa pernah dijatuhi hukuman disiplin yang berupa penahanan, hukuman disiplin tersebut wajib
dipertimbangkan dari pidana yang dijatuhkan.
Pasal 191

(1)
Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum,
Pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima
kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut, kecuali apabila menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan barang bukti tersebut harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau
dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
(2)
Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, Pengadilan dapat menetapkan supaya barang bukti diserahkan segera
sesudah sidang selesai.
(3)
Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai syarat apapun, kecuali dalam hal putusan belum
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 192
Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.

Pasal 193

(1)
Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya Terdakwa, kecuali dalam hal Undang-undang ini menentukan lain.
(2)
Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) orang Terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan
hadirnya salah seorang Terdakwa.
(3)
Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, Hakim Ketua wajib memberitahukan kepada Terdakwa tentang
segala haknya, yaitu:
a. hak segera menerima atau segera menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh Undang-undang ini;
c. hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undangundang
untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. hak meminta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
Undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
Undang-undang ini.

Pasal 194

(1)
Surat putusan pemidanaan memuat:
kepala putusan yang dituliskan berbunyi:
a.
"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.
nama lengkap Terdakwa, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur,
jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal;
c.
dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d.
pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa;
e.
tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f.
pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan
yang meringankan Terdakwa;
g.
hari dan tanggal diadakannya musyawarah Hakim, kecuali perkara diperiksa oleh Hakim tunggal;
h.
pernyataan kesalahan Terdakwa, pernyataan sudah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana
disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i.
ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan
ketentuan mengenai barang bukti;
j.
keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, apabila
terdapat surat autentik dianggap palsu;
k.
perintah supaya Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.
hari dan tanggal putusan, nama Hakim yang memutuskan, nama Oditur, dan nama Panitera.
(2)
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, dan huruf l mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3)
Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam Undang-undang ini.
Pasal 195

(1)
Surat putusan bukan pemidanaan memuat:
a.
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1) kecuali huruf e, huruf f, dan huruf h;
b.
pernyataan bahwa Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau diputus lepas dari segala tuntutan
hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
putusan;
c.
perintah supaya Terdakwa segera dibebaskan apabila ia ditahan;
d.
pernyataan bahwa perkara dikembalikan kepada Perwira Penyerah Perkara untuk diselesaikan melalui saluran
Hukum Disiplin Prajurit;
e.
pernyataan rehabilitasi.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi Pasal ini.
Pasal 196

(1)
Putusan ditandatangani oleh Hakim dan Panitera seketika sesudah putusan itu diucapkan.
(2)
Petikan putusan Pengadilan diberikan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan Oditur, segera sesudah
putusan diucapkan.
(3)
Salinan putusan Pengadilan diberikan kepada Perwira Penyerah Perkara, Oditur, Polisi Militer, dan Atasan yang
Berhak Menghukum, sedangkan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya diberikan atas permintaan.
(4)
Salinan putusan Pengadilan boleh diberikan pada orang lain hanya dengan seizin Kepala Pengadilan sesudah
mempertimbangkan kepentingan dari permintaan tersebut.
Pasal 197

(1)
Panitera membuat berita acara sidang yang memu at segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan
pemeriksaan itu.
(2)
Berita acara sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga hal yang penting dari keterangan Saksi,
Terdakwa, dan ahli kecuali apabila Hakim Ketua menyatakan bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan
dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu dan yang lainnya.
(3)
Atas permintaan Oditur, Terdakwa atau Penasihat Hukum, Hakim Ketua wajib memerintahkan Panitera supaya
dibuat catatan secara khusus tentang suatu keadaan atau keterangan.
(4)
Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua dan Panitera, kecuali apabila salah seorang dari mereka
berhalangan, hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut.
Bagian Kelima
Acara Pemeriksaan Koneksitas


Pasal 198


(1)
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan
yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali
apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan
diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(2)
Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri
dari Polisi Militer, Oditur, dan Penyidik dalam lingkungan peradilan umum, sesuai dengan wewenang mereka
masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
(3)
Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri dan Menteri
Kehakiman.
Pasal 199

(1)
Untuk menetapkan apakah Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1), diadakan
penelitian bersama oleh Jaksa/Jaksa Tinggi dan Oditur atas dasar hasil penyidikan tim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 198 ayat (2).
(2)
Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh para pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Apabila dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang Pengadilan yang berwenang
mengadili perkara tersebut, hal itu dilaporkan oleh Jaksa/Jaksa Tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh Oditur
kepada Oditur Jenderal.

Pasal 200

(1)
Apabila menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan
oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, Perwira Penyerah Perkara segera membuat surat keputusan
penyerahan perkara yang diserahkan melalui Oditur kepada Penuntut Umum, untuk dijadikan dasar mengajukan
perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri yang berwenang.
(2)
Apabila menurut pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer, pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (3) dijadikan dasar
bagi Oditur Jenderal untuk mengusulkan kepada Menteri, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman
dikeluarkan keputusan Menteri yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
(3)
Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar bagi Perwira Penyerah Perkara dan
Jaksa/Jaksa Tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi.
Pasal 201

(1)
Apabila perkara diajukan kepada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 ayat (1), berita acara
pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (2) dibubuhi catatan oleh
Penuntut Umum yang mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi Oditur apabila perkara tersebut akan diajukan
kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Pasal 202

(1)
Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (1) terdapat perbedaan pendapat antara
Penuntut Umum dan Oditur, mereka masing-masing melaporkan perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan
disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui Jaksa Tinggi kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur Jenderal.
(2)
Jaksa Agung dan Oditur Jenderal bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan
pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal, pendapat Jaksa Agung yang
menentukan.
Pasal 203

(1)
Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1) diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut
adalah Majelis Hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim.
(2)
Dalam hal Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 198 ayat (1), Majelis Hakim terdiri dari Hakim Ketua dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum dan Hakim Anggota yang masing-masing ditetapkan secara berimbang dari Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(3)
Dalam hal Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 198 ayat (1), Majelis Hakim terdiri dari Hakim Ketua dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer dan Hakim Anggota ditetapkan secara berimbang yang masing-masing dari Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer dan dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi Pengadilan Tingkat Banding.
(5)
Menteri Kehakiman dan Menteri secara timbal balik mengusulkan pengangkatan Hakim Anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
Bagian Keenam
Acara Pemeriksaan Khusus

Pasal 204

(1)
Acara pemeriksaan khusus dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Pertempuran.
(2)
Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana dalam tingkat pertama dan terakhir.
(3)
Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh mereka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran.
(4)
Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Terdakwa atau Oditur hanya dapat mengajukan Kasasi.
Pasal 205
Pembuktian dalam acara pemeriksaan khusus berlaku ketentuan bahwa:

a. pengetahuan Hakim dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti;
b. barang bukti cukup dibuktikan dengan adanya surat keterangan yang dibuat atas sumpah pejabat yang
bersangkutan.

Pasal 206
Putusan Pengadilan Militer Pertempuran diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.



Pasal 207

(1)
Pelaksanaan putusan Pengadilan Militer Pertempuran yang tidak memuat hukuman mati tidak tertunda karena
permohonan grasi.
(2)
Apabila dijatuhkan hukuman mati, pelaksanaannya baru dapat dilakukan sesudah Presiden mengambil
keputusan tentang soal grasi terhadap perkara yang bersangkutan.
Pasal 208

(1)
Apabila permohonan grasi diajukan, Panitera pada Pengadilan Militer Pertempuran menyampaikan berkas perkara
kepada Pengadilan Militer Utama.
(2)
Pengadilan Militer Utama sesudah mendengar pendapat Oditur Jenderal memberikan pendapatnya kepada
Presiden.
Pasal 209
Ketentuan acara pemeriksaan di sidang Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketiga dan acara
pemeriksaan biasa sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keempat berlaku sepanjang ketentuan dimaksud tidak
bertentangan dengan acara pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keenam ini.

Pasal 210
Penunjukan pejabat dan administrasi peradilan pada Pengadilan Militer Pertempuran dan Oditurat Militer Pertempuran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d dan Pasal 49 ayat (1) huruf d diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Panglima.

Bagian Ketujuh
Acara Pemeriksaan Cepat


Pasal 211


(1)
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat adalah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan
perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan.
(2)
Untuk perkara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan, tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, cukup berita
acara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.
(3)
Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi mengadili dengan Hakim tunggal yang dilaksanakan paling lambat 7
(tujuh) hari sesudah bukti pelanggaran diterima.
(4)
Putusan dapat dijatuhkan meskipun Terdakwa tidak hadir di sidang.
(5)
Dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, Terdakwa dapat mengajukan banding.
(6)
Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya Terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan
kemerdekaan, Terdakwa dapat mengajukan perlawanan.
(7)
Dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada Terdakwa, ia dapat mengajukan
perlawanan kepada Pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.
(8)
Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya Terdakwa menjadi gugur.
(9)
Sesudah Panitera memberitahukan kepada Oditur tentang perlawanan itu, Hakim sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara itu.
(10) Apabila putusan sesudah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
terhadap putusan tersebut Terdakwa dapat mengajukan banding.
Pasal 212
Dalam acara pemeriksaan cepat, Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 ayat (3) dapat menjatuhkan putusan
berdasarkan keyakinan yang didukung oleh 1 (satu) alat bukti yang sah.

Pasal 213
Pengembalian barang sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang berhak, segera sesudah putusan dijatuhkan, apabila
Terpidana sudah memenuhi amar putusan.

Pasal 214
Ketentuan acara pemeriksaan di sidang Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketiga dan acara
pemeriksaan biasa sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keempat berlaku sepanjang ketentuan dimaksud tidak
bertentangan dengan acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketujuh ini.

Bagian Kedelapan
Bantuan Hukum


Pasal 215


(1)
Untuk kepentingan pembelaan perkaranya, Tersangka atau Terdakwa berhak mendapat bantuan hukum di semua
tingkat pemeriksaan.
(2)
Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dari dinas bantuan hukum yang ada di
lingkungan Angkatan Bersenjata.

(3)
Tata cara pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Panglima.
Pasal 216

(1)
Penasihat Hukum yang mendampingi Tersangka di tingkat penyidikan atau Terdakwa di tingkat pemeriksaan di
sidang Pengadilan harus atas perintah atau seizin Perwira Penyerah Perkara atau pejabat lain yang ditunjuknya.
(2)
Penasihat Hukum yang mendampingi Terdakwa sipil dalam persidangan perkara koneksitas, harus seizin Kepala
Pengadilan.
Pasal 217

(1)
Dalam hal Tersangka atau Terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau diancam dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun atau lebih, Perwira Penyerah Perkara atau
pejabat lain yang ditunjuknya wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka atau Terdakwa.
(2)
Setiap Penasihat Hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan
bantuannya dengan cuma-cuma.
(3)
Penasihat Hukum berhak mengirim dan menerima surat dari Tersangka atau Terdakwa setiap kali dikehendaki
olehnya.
Pasal 218

(1)
Penasihat Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 berhak menghubungi dan berbicara dengan Tersangka
atau Terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan untuk kepentingan pembelaan perkaranya dengan pengawasan
oleh pejabat yang bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(2)
Penasihat Hukum yang terbukti menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan Tersangka atau Terdakwa,
sesuai dengan tingkat pemeriksaan, Penyidik, Oditur, atau petugas Rumah Tahanan Militer memberikan
peringatan kepadanya.
(3)
Apabila peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilanggar, hubungan selanjutnya dilarang.
Bagian Kesembilan
Upaya Hukum Biasa


Paragraf 1
Pemeriksaan Tingkat Banding


Pasal 219
Terdakwa atau Oditur berhak untuk meminta banding terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap
putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang
tepatnya penerapan hukum dan putusan Pengadilan dalam acara cepat yang berupa pidana perampasan
kemerdekaan.

Pasal 220

(1)
Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 dapat diajukan ke Pengadilan tingkat banding oleh
Terdakwa atau Oditur dan untuk pelanggaran lalu lintas oleh Terdakwa atau orang yang khusus dikuasakan
untuk itu.
(2)
Permintaan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) boleh diterima oleh Panitera Pengadilan tingkat
pertama dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau sesudah putusan diberitahukan kepada
Terdakwa yang tidak hadir.
(3)
Panitera dilarang menerima permintaan banding putusan yang tidak dapat dibanding atau permintaan banding
yang diajukan sesudah tenggang waktu yang ditentukan berakhir dan mencantumkan penolakan tersebut dalam
akta penolakan permohonan banding yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon yang bersangkutan.
(4)
Permintaan banding terhadap perkara yang diperiksa dan diputus tanpa hadirnya Terdakwa diajukan dalam
waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan diumumkan.
(5)
Panitera wajib membuat surat keterangan atas permohonan banding tersebut dengan ditandatangani olehnya
dan pemohon banding serta salinannya diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.
(6)
Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh Panitera dengan disertai alasannya dan
catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara dan juga ditulis dalam buku register perkara.
(7)
Dalam hal Pengadilan tingkat pertama menerima permintaan banding, baik yang diajukan oleh Oditur atau
Terdakwa maupun yang diajukan oleh Oditur dan Terdakwa sekaligus, Panitera wajib memberitahukan
permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Pasal 221

(1)
Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 ayat (2) sudah lewat tanpa diajukan permintaan
banding, yang bersangkutan dianggap menerima putusan.
(2)
Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta
melampirkannya pada berkas perkara.
Pasal 222


(1)
Selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan tingkat banding, permintaan banding dapat dicabut
sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi.
(2)
Apabila perkara sudah mulai diperiksa tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut
permintaan bandingnya, pemohon dibebani biaya perkara yang sudah dikeluarkan oleh Pengadilan tingkat
banding hingga saat pencabutannya.
Pasal 223

(1)
Paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak permintaan banding diajukan, Panitera mengirimkan salinan
Putusan Pengadilan tingkat pertama dan berkas perkara serta surat bukti kepada Pengadilan tingkat banding.
(2)
Selama 7 (tujuh) hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada Pengadilan tingkat banding, pemohon banding
wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di Pengadilan tingkat pertama.
(3)
Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis bahwa ia akan mempelajari berkas
perkara tersebut di Pengadilan tingkat banding, kepadanya wajib diberi kesempatan untuk itu secepatnya 7
(tujuh) hari sesudah berkas perkara diterima oleh Pengadilan tingkat banding.
(4)
Kepada setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti keaslian berkas
perkaranya yang sudah ada di Pengadilan tingkat banding.
Pasal 224
Selama Pengadilan tingkat banding belum memulai memeriksa suatu perkara, baik Terdakwa atau kuasanya maupun
Oditur dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada Pengadilan tingkat banding.

Pasal 225

(1)
Pemeriksaan pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan tingkat banding atas dasar berkas perkara yang
diterima dari Pengadilan tingkat pertama yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari Penyidik, berita acara
pemeriksaan di sidang Pengadilan tingkat pertama, beserta semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan
dengan perkara itu dan putusan Pengadilan tingkat pertama.
(2)
Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Pengadilan tingkat banding sejak saat diajukannya
permintaan banding.
(3)
Dalam waktu 3 (tiga) hari sejak menerima berkas perkara banding dari Pengadilan tingkat pertama, Pengadilan
tingkat banding wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah Terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik
karena wewenang jabatannya maupun karena permintaan Terdakwa.
(4)
Apabila dipandang perlu, Pengadilan tingkat banding mendengar sendiri keterangan Terdakwa atau Saksi atau
Oditur dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin
diketahuinya.
Pasal 226

(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) dan Pasal 150 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku
juga bagi pemeriksaan perkara pada tingkat banding.
(2)
Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (2) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera
tingkat banding dengan Hakim atau Panitera tingkat pertama yang sudah mengadili perkara yang sama.
(3)
Apabila seorang Hakim yang memutus perkara pada Pengadilan tingkat pertama menjadi Hakim pada Pengadilan
tingkat banding, Hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama pada tingkat banding.
Pasal 227

(1)
Apabila Pengadilan tingkat banding berpendapat bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat pertama ternyata ada
kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, Pengadilan tingkat
banding dengan putusannya dapat memerintahkan Pengadilan tingkat pertama untuk memperbaiki hal itu atau
Pengadilan tingkat banding melakukannya sendiri.
(2)
Apabila perlu, Pengadilan tingkat banding dengan putusannya dapat membatalkan putusan Pengadilan tingkat
pertama sebelum Pengadilan tingkat banding menjatuhkan putusan akhir.
Pasal 228

(1)
Sesudah semua hal dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 dipertimbangkan dan dilaksanakan,
Pengadilan tingkat banding mengambil putusan, menguatkan atau mengubah atau membatalkan putusan
Pengadilan tingkat pertama.
(2)
Dalam hal Pengadilan tingkat banding membatalkan putusan Pengadilan tingkat pertama, Pengadilan tingkat
banding memutus sendiri.
(3)
Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas putusan Pengadilan tingkat pertama karena ia tidak berwenang
memeriksa perkara itu, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133.
Pasal 229

Apabila dalam pemeriksaan tingkat banding Terdakwa ada dalam tahanan, Pengadilan tingkat banding dalam
putusannya memerintahkan supaya Terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan.

Pasal 230


(1)
Salinan putusan Pengadilan tingkat banding beserta berkas perkara, dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan
tersebut dijatuhkan, dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama.
(2)
Isi putusan segera diberitahukan kepada Terdakwa dan Oditur oleh Panitera Pengadilan tingkat pertama dan
selanjutnya pemberitahuan tersebut dicatat dalam salinan putusan Pengadilan tingkat banding.
(3)
Ketentuan mengenai putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 berlaku juga bagi putusan
Pengadilan tingkat banding.
(4)
Dalam hal Terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum Pengadilan tingkat pertama tersebut, Panitera
meminta bantuan kepada Panitera Pengadilan tingkat pertama yang dalam daerah hukumnya Terdakwa bertempat
tinggal untuk memberitahukan isi putusan kepadanya.
(5)
Dalam hal Terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar negeri, isi surat putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui kepala desa atau pejabat atau melalui perwakilan
Republik Indonesia di tempat Terdakwa biasa bertempat tinggal dan apabila juga masih belum berhasil
disampaikan, Terdakwa dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut melalui 2 (dua) buah surat kabar yang terbit di daerah
hukum Pengadilan tingkat pertama itu sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah itu.
(6)
Dalam hal Terdakwa sudah diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat/dipecat dari dinas
keprajuritan dan tidak diketahui lagi tempat tinggalnya, isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan melalui kepala desa di tempat semula Terdakwa bertempat tinggal dan apabila masih belum juga
berhasil disampaikan, Terdakwa dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut melalui 2 (dua) buah surat kabar yang terbit
di daerah hukum Pengadilan yang memutus perkaranya.
Paragraf 2
Pemeriksaan Tingkat Kasasi


Pasal 231
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan oleh Pengadilan tingkat banding atau Pengadilan tingkat pertama
dan terakhir, Terdakwa atau Oditur dapat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali
terhadap putusan bebas dari segala dakwaan.

Pasal 232

(1)
Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada Panitera Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
231 dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan Pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan
kepada Terdakwa.
(2)
Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), oleh Panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang
ditandatangani oleh Panitera serta pemohon dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
(3)
Dalam hal Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan
oleh Oditur atau Terdakwa maupun yang diajukan Oditur dan Terdakwa sekaligus, Panitera wajib
memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Pasal 233

(1)
Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (1) sudah lampau tanpa diajukan
permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, yang bersangkutan dianggap menerima putusan.
(2)
Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemohon terlambat mengajukan
permohonan kasasi, hak itu gugur.
(3)
Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal
itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
Pasal 234

(1)
Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut
sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi.
(2)
Apabila pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim kepada Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak
jadi dikirimkan.
(3)
Apabila perkara sudah mulai diperiksa tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut
permohonan kasasinya, pemohon dibebani biaya perkara yang sudah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
hingga saat pencabutannya.
(4)
Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Pasal 235

(1)
Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu
14 (empat belas) hari sesudah mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya kepada Panitera
yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima.
(2)
Dalam hal pemohon kasasi adalah Terdakwa yang kurang memahami hukum, Panitera pada waktu menerima
permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu Panitera
membuat memori kasasinya.
(3)
Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemohon terlambat menyerahkan memori
kasasi, hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 ayat (3) berlaku juga untuk ayat (3) Pasal ini.

(5)
Salinan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh Panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan
pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi.
(6)
Dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera menyampaikan salinan kontra memori
kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi.
Pasal 236

(1)
Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam memori kasasi atau
kontra memori kasasi, kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (1).
(2)
Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada Panitera Pengadilan tingkat pertama atau
Pengadilan tingkat pertama dan terakhir.
(3)
Paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh Panitera Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan tingkat
pertama dan terakhir segera disampaikan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Militer Utama.
(4)
Sesudah Panitera Pengadilan Militer Utama menerima berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
ia wajib segera menyampaikan berkas perkara tersebut kepada Mahkamah Agung.
Pasal 237

(1)
Sesudah Panitera Pengadilan tingkat pertama menerima memori dan/atau kontra memori sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 235 ayat (1) dan ayat (3), ia wajib segera mengirim berkas perkara kepada Mahkamah Agung melalui
Pengadilan Militer Utama.
(2)
Sesudah Panitera Pengadilan Militer Utama menerima memori dan/atau kontra memori sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ia wajib segera menyampaikan memori dan/atau kontra memori tersebut kepada Mahkamah Agung.
(3)
Sesudah Panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara tersebut, ia seketika mencatatnya dalam buku
agenda surat, buku register perkara, dan kartu penunjuk.
(4)
Buku register perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dikerjakan, ditutup, dan ditandatangani oleh
Panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga karena jabatannya oleh Ketua Mahkamah
Agung.
(5)
Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, penandatanganan dilakukan oleh Wakil Ketua Mahkamah
Agung dan apabila keduanya berhalangan, ditunjuk Hakim Anggota yang tertua dalam jabatan dengan surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(6)
Selanjutnya Panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti penerimaan yang aslinya dikirimkan kepada
Panitera Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang bersangkutan, sedangkan
salinannya dikirimkan kepada para pihak.
Pasal 238

(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 berlaku juga bagi pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi.
(2)
Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera
tingkat kasasi dengan Hakim dan/atau Panitera tingkat banding serta tingkat pertama yang sudah mengadili
perkara yang sama.
(3)
Apabila seorang Hakim yang mengadili perkara pada tingkat pertama atau pada tingkat pertama dan terakhir atau
pada tingkat banding, kemudian sudah menjadi Hakim atau Panitera pada Mahkamah Agung, mereka dilarang
bertindak sebagai Hakim atau Panitera untuk perkara yang sama pada tingkat kasasi.
Pasal 239

(1)
Pemeriksaan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 dan
Pasal 235 guna menentukan:
a.
apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b.
apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
c.
apakah benar Pengadilan sudah melampaui batas kewenangannya.
(2)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim
atas dasar berkas perkara yang diterima dari Pengadilan lain selain Mahkamah Agung yang terdiri dari berita
acara pemeriksaan dari Penyidik, berita acara pemeriksaaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang
berhubungan dengan perkara itu beserta putusan Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan tingkat pertama
dan terakhir.
(3)
Apabila dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah
Agung dapat mendengar secara langsung keterangan Terdakwa atau Saksi atau Oditur, dengan menjelaskan
secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah
Agung dapat pula memerintahkan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendengar keterangan
mereka, dengan cara pemanggilan yang sama.
(4)
Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak diajukannya permohonan kasasi.
(5)
a. Dalam waktu 3 (tiga) hari sejak menerima berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Agung wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah Terdakwa perlu tetap ditahan atau
tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun karena permintaan Terdakwa;
b.
Dalam hal Terdakwa tetap ditahan, dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penetapan penahanan
Mahkamah Agung wajib memeriksa perkara tersebut.

Pasal 240

(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara
pada tingkat kasasi.
(2)
Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam
tingkat kasasi:
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah suatu
panitia yang terdiri dari 3 (tiga) orang yang dipilih oleh dan antar Hakim Anggota yang 1 (satu) orang di
antaranya harus Hakim Anggota yang tertua dalam jabatan.

Pasal 241
Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena sudah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 232, Pasal 233, dan Pasal 234, mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak
atau mengabulkan permohonan kasasi.

Pasal 242

(1)
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut.
(2)
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undangundang,
Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk supaya Pengadilan yang memutus perkara yang
bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah
Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.
(3)
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena Pengadilan atau Hakim yang bersangkutan tidak berwenang
mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara
tersebut.
Pasal 243
Apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241, Mahkamah
Agung membatalkan putusan Pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam hal itu berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam

Pasal 244
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 230 berlaku juga bagi putusan
kasasi Mahkamah Agung, kecuali tenggang waktu tentang pengiriman salinan putusan beserta berkas perkaranya
kepada Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama atau pada tingkat pertama dan terakhir dalam tenggang waktu
7 (tujuh) hari.

Bagian Kesepuluh
Upaya Hukum Luar Biasa
Paragraf 1
Pemeriksaan Tingkat Kasasi
demi Kepentingan Hukum


Pasal 245

(1)
Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dari
Pengadilan, dapat diajukan 1 (satu) kali permohonan kasasi oleh Oditur Jenderal.
(2)
Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
Pasal 246

(1)
Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Oditur Jenderal kepada Mahkamah
Agung melalui Panitera Pengadilan yang sudah memutus perkara pada tingkat pertama atau pada tingkat pertama
dan terakhir, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.
(2)
Salinan risalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Panitera segera disampaikan kepada pihak yang
berkepentingan.
(3)
Kepala Pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah Agung melalui
Pengadilan Militer Utama.
Pasal 247

(1)
Salinan putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan kepada Oditur Jenderal
dan kepada Pengadil-an yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2) dan ayat (4) berlaku juga bagi pemeriksaan tingkat
kasasi demi kepentingan hukum.
Paragraf 2
Pemeriksaan Peninjauan Kembali


Putusan yang Sudah Memperoleh
Kekuatan Hukum Tetap


Pasal 248


(1)
Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dari segala
dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2)
Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a.
apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui
pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas dari segala dakwaan atau
putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan Oditur tidak dapat diterima, atau terhadap perkara
itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b.
apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah terbukti, tetapi hal atau keadaan
sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan sudah terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan
yang lain;
c.
apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(3)
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang
sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu
pemidanaan.
Pasal 249

(1)
Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) diajukan kepada
Panitera Pengadilan yang sudah memutus perkara tersebut pada tingkat pertama atau pada tingkat pertama dan
terakhir dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.
(3)
Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan tenggang waktu.
(4)
Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, Panitera pada waktu
menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut
dan untuk itu Panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.
(5)
Kepala Pengadilan yang bersangkutan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas
perkaranya kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Militer Utama, disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 250

(1)
Kepala Pengadilan tingkat pertama atau tingkat pertama dan terakhir, sesudah menerima permintaan peninjauan
kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1), menunjuk Hakim yang tidak memeriksa perkara semula
yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut
memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (2).
(2)
Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemo -hon dan Oditur ikut hadir dan dapat
menyampaikan pendapatnya.
(3)
Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Hakim, Oditur, pemohon,
dan Panitera, dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh Hakim dan
Panitera.
(4)
Kepala Pengadilan yang bersangkutan segera melakukan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas
perkara semula, berita acara pemeriksaan, dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung melalui
Pengadilan Militer Utama yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan Oditur.
(5)
Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan Pengadilan banding, tembusan
surat pengantar tersebut harus dilampiri salinan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan
disampaikan kepada Pengadilan tingkat banding yang bersangkutan.
Pasal 251

(1)
Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat
(2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai
dasar alasannya.
(2)
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan
peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap
berlaku dengan disertai dasar pertimbangannya;
b.
apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang
dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
1.
putusan bebas dari segala dakwaan;
2.
putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3.
putusan tidak dapat menerima tuntutan Oditur;
4.
putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

(3)
Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang sudah dijatuhkan
dalam putusan semula.
Pasal 252

(1)
Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu 7 (tujuh)
hari sesudah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada Pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan
kembali.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku juga bagi
putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.
Pasal 253

(1)
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan dari
putusan tersebut.
(2)
Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu
pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada
kehendak ahli warisnya.
(3)
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Bagian Kesebelas
Pelaksanaan Putusan Pengadilan


Pasal 254


(1)
Putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan oleh Oditur yang
untuk itu Panitera mengirimkan salinan putusan kepadanya.
(2)
Mendahului salinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditur melaksanakan putusan Pengadilan berdasarkan
petikan putusan.
Pasal 255
Pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak di
muka umum.

Pasal 256

(1)
Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer atau di tempat lain menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Dalam hal Terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana penjara atau sejenis, sebelum
menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, pidana tersebut mulai dijalankan dengan pidana yang dijatuhkan
lebih dahulu.
(3)
Apabila Terpidana dipecat dari dinas keprajuritan, pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di
Lembaga Pemasyarakatan Umum.
Pasal 257
Dalam hal Pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta
pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 258

(1)
Dalam hal Pengadilan menjatuhkan pidana denda, Terpidana diberi tenggang waktu 1 (satu) bulan untuk
membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan pemeriksaan acara cepat yang pembayaran dendanya harus
dilunasi seketika.
(2)
Apabila terdapat alasan yang kuat, tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
untuk paling lama 1 (satu) bulan.
Pasal 259

(1)
Dalam hal putusan Pengadilan menetapkan perampasan barang bukti untuk negara, Oditur menguasakan benda
tersebut kepada Kantor Lelang Negara untuk dijual lelang dalam waktu 3 (tiga) bulan dan hasilnya dimasukkan ke
kas negara atas nama Oditurat.
(2)
Tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
Pasal 260

(1)
Dalam hal Pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184,
pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan perdata.
(2)
Apabila dalam 1 (satu) perkara terdapat lebih dari 1 (satu) orang Terpidana, pembayaran ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada para Terpidana bersama-sama secara berimbang.
Pasal 261

(1)
Biaya perkara yang ditetapkan dalam putusan Pengadilan dibayar oleh Terpidana dalam tenggang waktu 1 (satu)
bulan.

(2)
Tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
(3)
Apabila dalam 1 (satu) perkara terdapat lebih dari 1 (satu) Terpidana, pembayaran biaya perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada para Terpidana bersama-sama secara berimbang.
Bagian Kedua Belas
Pengawasan dan Pengamatan
Pelaksanaan Putusan Pengadilan


Pasal 262


(1)
Pengawasan dan pengamatan putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan dilakukan
oleh Kepala Pengadilan yang bersangkutan dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh seorang Hakim atau lebih
sebagai Hakim pengawas dan pengamat.
(2)
Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh Kepala Pengadilan untuk paling lama 2 (dua) tahun.
(3)
Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan
Pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
(4)
Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketepatan yang
bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku Narapidana atau pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Militer serta pengaruh timbal balik terhadap Narapidana selama menjalani pidananya.
(5)
Pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dilaksanakan sesudah Terpidana selesai menjalani
pidananya.
(6)
Pengawasan pelaksanaan putusan pidana bersyarat dilakukan dengan bantuan Atasan yang Berhak
Menghukum Terpidana.
(7)
Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh Hakim pengawas dan pengamat kepada Kepala Pengadilan
secara berkala.
Pasal 263

(1)
Oditur mengirimkan salinan berita acara pelaksanaan putusan Pengadilan yang ditandatangani oleh Oditur,
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Militer, dan Terpidana kepada Pengadilan yang memutus, Atasan yang Berhak
Menghukum, dan Perwira Penyerah Perkara, selanjutnya salinan berita acara pelaksanaan putusan yang diterima
Pengadilan tersebut dicatat oleh Panitera dalam buku register pengawasan dan pengamatan.
(2)
Buku register pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikerjakan, ditutup, dan
ditandatangani oleh Panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh Hakim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262.
Bagian Ketiga Belas
Berita Acara


Pasal 264


(1)
Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a.
pemeriksaan Tersangka;
b.
penangkapan;
c.
penahanan;
d.
penggeledahan;
e.
pemasukan rumah;
f.
penyitaan benda;
g.
pemeriksaan surat;
h.
pemeriksaan Saksi;
i.
pemeriksaan di tempat kejadian;
j.
pelaksanaan penetapan dan putusan Pengadilan atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum; dan
k.
pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2)
Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
(3)
Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani
pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB V
HUKUM ACARA TATA USAHA MILITER
Bagian Pertama
Gugatan


Pasal 265


(1)
Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Angkatan Bersenjata dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang yang

berisi tuntutan supaya Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan tersebut dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.

(2)
Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sudah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang tersebut;
c.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesudah mempertimbangkan semua kepentingan yang
tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan
keputusan tersebut.
(3)
Prajurit dan yang dipersamakan dengan prajurit dapat mengajukan gugatan sesudah seluruh upaya administrasi
yang bersangkutan telah digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Upaya administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
Pasal 266

(1)
Gugatan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat.
(2)
Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata dan berkedudukan tidak
dalam satu daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi, gugatan diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan dari salah satu Tergugat.
(3)
Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi tempat kediaman
Penggugat, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Militer Tinggi yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman Penggugat untuk selanjutnya gugatan diteruskan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang.
(4)
Dalam hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan yang
diatur dengan keputusan Panglima, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
(5)
Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan
Militer Tinggi di Jakarta.
(6)
Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada
Pengadilan Militer Tinggi di tempat kedudukan Tergugat.
Pasal 267
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (semb ilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata/ Instansi atasan dari Badan atau
Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dalam hal ada upaya administrasi.

Pasal 268

(1)
Gugatan diajukan dengan memuat:
a.
nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis
kelamin, kewarganegaraan, agama, tempat tinggal, dan pekerjaan Penggugat atau kuasanya;
b.
nama jabatan dan tempat kedudukan Tergugat;
c.
dasar gugatan dan hal yang atau diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan Militer Tinggi.
(2)
Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, gugatan harus disertai dengan surat
kuasa yang sah.
(3)
Gugatan sedapat mungkin juga disertai dengan keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan
oleh Penggugat.
(4)
Untuk Prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit, gugatan sedapat mungkin juga disertai dengan
keputusan instansi atasan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dalam
upaya administrasi.
Pasal 269

(1)
Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh 1 (satu) orang atau beberapa
orang kuasa.
(2)
Apabila Penggugat adalah Prajurit yang ingin didampingi 1 (satu) orang atau beberapa orang kuasa, ia harus
mendapat izin dari Komandan atau Kepala setingkat Komandan Batalyon.
(3)
Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat dilakukan secara lisan di persidangan.
(4)
Surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan dan
diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh penerjemah resmi.
(5)
Apabila dipandang perlu, Hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang
menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa.
Pasal 270


(1)
Untuk mengajukan gugatan, Penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya ditaksir oleh
Panitera Pengadilan Militer Tinggi.
(2)
Setelah Penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera
Pengadilan Militer Tinggi.
(3)
Paling lambat dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah gugatan dicatat, Hakim menentukan hari,
waktu, dan tempat persidangan, serta menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan
tempat yang sudah ditentukan.
(4)
Surat panggilan kepada Tergugat disertai dengan sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan
itu dapat dijawab secara tertulis.
Pasal 271

(1)
Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Pengadilan Militer Tinggi untuk bersengketa dengan
cuma-cuma.
(2)
Apabila Penggugat adalah Prajurit pada waktu mengajukan gugatan, ia harus menyertakan surat keterangan dari
atasannya.
(3)
Bagi Penggugat yang bukan prajurit, permohonan diajukan pada waktu Penggugat mengajukan gugatannya
disertai dengan surat keterangan yang menyatakan bahwa Penggugat tidak mampu membayar biaya perkara dari
kepala desa atau lurah di tempat tinggal Pemohon.
Pasal 272

(1)
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 harus diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan Militer
Tinggi sebelum pokok sengketa diperiksa.
(2)
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diambil pada tingkat pertama dan terakhir.
(3)
Penetapan Pengadilan Militer Tinggi yang sudah mengabulkan permohonan Penggugat untuk bersengketa
dengan cuma-cuma di tingkat pertama juga berlaku pada tingkat banding dan kasasi.
Pasal 273

(1)
Dalam rapat permusyawaratan, Kepala Pengadilan Militer Tinggi berwenang memutuskan dengan suatu
penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak dapat
diterima atau tidak berdasar, dalam hal:
a.
pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan;
b.
syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 tidak dipenuhi oleh Penggugat, sekalipun ia sudah
diberitahu dan diperingatkan;
c.
gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan yang layak;
d.
apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata yang digugat;
e.
gugatan diajukan sebelum waktunya atau sudah lewat waktunya.
(2)
a penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari
persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya;
b.
pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat pos tercatat oleh Panitera Pengadilan Militer Tinggi
atas perintah Kepala Pengadilan Militer Tinggi, disertai dengan bukti pengiriman.
(3)
a. terhadap penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan
Militer Tinggi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah diucapkan;
b.
perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267.
(4)
Perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi dengan
acara pemeriksaan cepat.
(5)
Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan Militer Tinggi, penetapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara
pemeriksaan biasa.
(6)
Terhadap putusan mengenai perlawanan itu, tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 274

(1)
Dalam hal permohonan gugatan diterima atau perlawanan dibenarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273
ayat (5), Kepala Pengadilan Militer Tinggi menunjuk susunan majelis hakim dengan mengeluarkan penetapan
hakim dan berdasarkan penetapan hakim tersebut Ketua Majelis Hakim mengeluarkan penetapan hari sidang
serta memerintahkan Panitera untuk memanggil para pihak atau kuasanya dan Saksi dengan surat pos tercatat.
(2)
Surat panggilan kepada Tergugat disertai dengan sehelai salinan surat gugatan dengan pemberitahuan bahwa
gugatan itu dapat dijawab secara tertulis.
Pasal 275

(1)
Untuk menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak
dari tempat persidangan.
(2)
Tenggang waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 (enam) hari.
(3)
Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing sudah menerima surat
panggilan yang dikirimkan dengan surat pos tercatat.

Pasal 276

(1)
Dalam hal salah satu pihak berkedudukan atau berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia, Kepala
Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan
hari sidang beserta salinan gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
(2)
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia segera menyampaikan surat penetapan hari sidang beserta salinan
gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dalam wilayah
tempat yang bersangkutan berkedudukan atau berada.
(3)
Petugas Perwakilan Republik Indonesia dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak dilakukan pemanggilan
tersebut wajib memberi laporan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 277

(1)
Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk
melengkapi gugatan yang kurang jelas.
(2)
Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim:
a.
wajib memberi nasihat kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang
diperlukan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari; dan
b.
dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan.
(3)
Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a Penggugat belum menyempurnakan
gugatan, Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(4)
Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat
diajukan gugatan baru.
Pasal 278

(1)
Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan serta tindakan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat.
(2)
Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata itu
ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata sedang berjalan sampai dengan ada
putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus
terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
(4)
Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan
yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan, apabila Keputusan Tata
Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu tetap dilaksanakan.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku apabila kepentingan militer dalam rangka
menunjang kepentingan pertahanan keamanan negara mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Tingkat Pertama
Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Biasa


Pasal 279


(1)
Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum.
(2)
Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut kepentingan militer dalam
rangka menunjang kepentingan pertahanan keamanan dan/atau ketertiban umum atau keselamatan negara,
persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
(3)
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyebabkan putusan batal demi
hukum.
Pasal 280

(1)
Dalam hal Penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama dan pada hari yang sudah
ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun setiap kali
sudah dipanggil dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya perkara.
(2)
Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah
membayar uang muka biaya perkara.
Pasal 281

(1)
Dalam hal Tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan 2 (dua) kali sidang berturut-turut dan/atau tidak
menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun setiap kali sudah dipanggil
dengan patut, Hakim Ketua dengan surat penetapan meminta atasan Tergugat untuk memerintahkan Tergugat
hadir dan/atau menanggapi gugatan.
(2)
Dalam hal sesudah lewat 2 (dua) bulan sesudah dikirimkan dengan surat pos tercatat penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan Tergugat maupun dari Tergugat, Hakim Ketua
menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa tanpa hadirnya
Tergugat.

(3)
Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya sesudah pemeriksaan mengenai segi penyelesaiannya
dilakukan secara tuntas.
Pasal 282

(1)
Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) orang Tergugat dan 1 (satu) orang atau lebih di antara mereka atau
kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa
itu dapat ditunda sampai hari sidang berikutnya yang ditentukan oleh Hakim Ketua.
(2)
Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedangkan terhadap pihak yang tidak hadir oleh
Hakim Ketua diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi.
(3)
Apabila pada hari penundaan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Tergugat atau kuasanya masih ada
yang tidak hadir, sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya.
Pasal 283

(1)
Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim
Ketua dan apabila tidak ada surat jawaban, pihak Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya.
(2)
Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang akan
diajukan oleh mereka masing-masing.
Pasal 284

(1)
Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik, asalkan disertai
dengan alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan Tergugat, dan hal tersebut harus dipertimbangkan
dengan saksama oleh Hakim.
(2)
Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asalkan disertai
dengan alasan yang cukup, serta tidak merugikan kepentingan Penggugat, dan hal tersebut harus
dipertimbangkan dengan saksama oleh Hakim.
Pasal 285

(1)
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum Tergugat memberikan jawaban.
(2)
Apabila Tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh Penggugat akan
dikabulkan oleh Pengadilan Militer Tinggi hanya apabila disetujui Tergugat.
Pasal 286

(1)
Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan Militer Tinggi dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan,
dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan Militer Tinggi apabila Hakim
mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa Pengadilan Militer Tinggi tidak berwenang
mengadili sengketa yang bersangkutan.
(2)
Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan Militer Tinggi diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok
sengketa dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.
(3)
Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan Militer Tinggi hanya dapat diputus bersama dengan
pokok sengketa.
Pasal 287

(1)
Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan suatu perkara apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai dengan Hakim
Ketua, salah seorang Hakim Anggota atau Panitera.
(2)
Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai dengan Tergugat atau
Penggugat atau dengan Penasihat Hukum.
(3)
Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diganti dan apabila tidak diganti
atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa sudah diputus, sengketa tersebut wajib segera diadili ulang
dengan susunan yang lain.
Pasal 288

(1)
Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia berkepentingan langsung atau
tidak langsung atas suatu sengketa.
(2)
Pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas kehendak Hakim atau Panitera atau
atas permintaan salah satu atau pihak yang bersengketa.
(3)
Apabila ada keragu-raguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pejabat
Pengadilan yang berwenang yang menetapkan.
(4)
Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diganti, dan apabila tidak diganti
atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa sudah diputus, sengketa tersebut wajib segera diadili ulang
dengan susunan yang lain.
Pasal 289

Demi kelancaran pemeriksaan sengketa di dalam sidang, Hakim Ketua berhak memberikan petunjuk kepada para pihak
yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.


Pasal 290

Penggugat, Tergugat, dan Penasihat Hukum dapat mempelajari berkas perkara dan surat resmi lainnya yang
bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya dengan izin Kepala Pengadilan Militer Tinggi.

Pasal 291
Para pihak yang bersangkutan dapat membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan
perkaranya dengan biaya sendiri, sesudah memperoleh izin Kepala Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan.

Pasal 292

(1)
Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang
diperiksa oleh Pengadilan Militer Tinggi, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun
atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dan bertindak sebagai:
a.
pihak yang membela haknya; atau
b.
peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
(2)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan Militer Tinggi
dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang.
(3)
Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam
pokok sengketa.
Pasal 293

(1)
Apabila dalam persidangan penerima kuasa melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya, pemberi
kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertulis, disertai dengan tuntutan agar tindakan kuasa tersebut
dinyatakan batal oleh Pengadilan Militer Tinggi.
(2)
Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan, Hakim wajib menetapkan dalam putusan
yang dimuat dalam berita acara sidang bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari
berita acara pemeriksaan.
(3)
Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibacakan dan/atau diberitahukan kepada para pihak yang
bersangkutan.
Pasal 294

(1)
Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua memandang perlu, ia dapat memerintahkan
pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata atau Pejabat lain yang
menyimpan surat atau yang meminta penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan
sengketa.
(2)
Selain hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim Ketua dapat memerintahkan pula supaya surat tersebut
diperlihatkan kepada Pengadilan Militer Tinggi dalam persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu.
(3)
Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum diperlihatkan oleh penyimpannya, dibuat salinan
surat itu sebagai ganti yang asli selama surat yang asli belum diterima kembali dari Pengadilan Militer Tinggi.
(4)
Apabila pemeriksaan tentang kebenaran suatu surat menimbulkan persangkaan bahwa surat itu dipalsukan oleh
seseorang yang masih hidup, Hakim Ketua dapat mengirimkan surat tersebut kepada Penyidik yang berwenang,
dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dapat ditunda sampai putusan perkara pidananya
dijatuhkan.
Pasal 295

(1)
Atas permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua dapat memerintahkan 1 (satu) orang
Saksi untuk didengar di persidangan.
(2)
Apabila Saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun sudah dipanggil dengan
patut dan Hakim cukup mempunyai alasan untuk menyangka bahwa Saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua
dapat memberi perintah supaya Saksi dibawa oleh petugas Polisi Militer/polisi ke persidangan.
(3)
Seorang Saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi, yang bersangkutan tidak
diwajibkan datang di Pengadilan Militer Tinggi tersebut, tetapi pemeriksaan Saksi itu dapat diserahkan kepada
Pengadilan Militer Tinggi yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Saksi.
Pasal 296

(1)
Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
(2)
Hakim Ketua menanyakan kepada Saksi nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan,
tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, tempat tinggal, pekerjaan, derajat
hubungan keluarga, dan hubungan kerja dengan Penggugat atau Tergugat.
(3)
Sebelum memberi keterangan, Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.
Pasal 297

Yang tidak boleh didengar sebagai Saksi ialah:

a.
keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat
kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;

b. istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;
c. anak yang belum berumur 17 (tujuh belas) tahun; atau
d. orang sakit ingatan.

Pasal 298

(1)
Orang yang dapat meminta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian ialah:
a.
saudara laki-laki atau perempuan, ipar laki-laki atau perempuan salah satu pihak; atau
b.
setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan, atau jabatannya itu.
(2)
Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b diserahkan kepada pertimbangan Hakim.
Pasal 299

(1)
Pertanyaan yang diajukan kepada Saksi oleh salah satu pihak disampaikan melalui Hakim Ketua.
(2)
Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan Hakim Ketua tidak ada kaitannya dengan sengketa,
pertanyaan itu ditolak.
Pasal 300

(1)
Apabila Penggugat atau Saksi tidak memahami bahasa Indonesia, Hakim Ketua dapat mengangkat seorang ahli
alih bahasa.
(2)
Sebelum melaksanakan tugasnya, ahli alih bahasa tersebut wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut
agamanya untuk mengalihkan bahasa yang dipahami oleh Penggugat atau Saksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan sebaik-baiknya.
(3)
Orang yang menjadi Saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih bahasa dalam sengketa tersebut.
Pasal 301

(1)
Dalam hal Penggugat atau Saksi bisu dan/atau tuli dan tidak dapat menulis, Hakim Ketua dapat mengangkat
orang yang pandai bergaul dengan Penggugat atau Saksi sebagai juru bahasa.
(2)
Sebelum melaksanakan tugasnya, juru bahasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut agamanya.
(3)
Dalam hal Penggugat atau Saksi bisu dan/atau tuli tetapi pandai menulis, Hakim Ketua dapat menyuruh
menuliskan pertanyaan atau teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada Penggugat
atau Saksi tersebut dengan perintah supaya ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan
jawaban harus dibacakan.
Pasal 302
Pejabat yang dipanggil sebagai Saksi wajib hadir di persidangan.

Pasal 303

(1)
Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan didengar di persidangan Pengadilan Militer Tinggi dengan
dihadiri oleh para pihak yang bersengketa.
(2)
Apabila yang bersengketa sudah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, Saksi dapat didengar keterangannya tanpa kehadiran pihak yang bersengketa.
(3)
Dalam hal Saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan
oleh hukum, Hakim dibantu oleh Panitera datang ke tempat kediaman Saksi untuk mengambil sumpah atau
janjinya dan mendengar Saksi tersebut.
Pasal 304

(1)
Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pemeriksaannya pada suatu hari persidangan, pemeriksaan
dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya.
(2)
Lanjutan sidang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak dan bagi mereka pemberitahuan ini disamakan
dengan panggilan.
(3)
Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama ternyata tidak datang pada hari
persidangan selanjutnya, Hakim Ketua memerintahkan Panitera untuk memberitahukan waktu, hari, dan tanggal
persidangan berikutnya kepada pihak tersebut.
(4)
Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap tidak hadir tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan sekalipun ia telah diberitahu secara patut, pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa
kehadirannya.
Pasal 305
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa ada tindakan yang harus dilakukan dan memerlukan biaya, biaya tersebut
harus dibayar dahulu oleh pihak yang mengajukan permohonan untuk dilakukannya tindakan tersebut.

Pasal 306


(1)
Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing.
(2)
Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim Ketua
menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah secara
tertutup dan rahasia untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.
(3)
Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali
apabila sesudah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil
dengan suara terbanyak.
(4)
Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat menghasilkan putusan,
musyawarah ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya.
(5)
Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, suara terakhir Hakim Ketua
yang menentukan.
Pasal 307

(1)
Putusan Pengadilan Militer Tinggi dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum,
atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak.
(2)
Putusan Pengadilan Militer Tinggi dapat berupa:
a. gugatan ditolak;
b. gugatan dikabulkan;
c. gugatan tidak diterima; atau
d. gugatan gugur.

Pasal 308

(1)
Apabila gugatan dikabulkan, dalam putusan Pengadilan Militer Tinggi tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang
harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang mengeluarkan keputusan
tersebut.
(2)
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
pencabutan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan;
b.
pencabutan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang baru; atau
c.
penerbitan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata dalam hal gugatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
(3)
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai dengan pembebanan ganti rugi.
(4)
Dalam hal putusan Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut bidang personel,
di samping kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Paragraf 2
Acara Pemeriksaan Cepat

Pasal 309

(1)
Apabila terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan
permohonannya, Penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan Militer Tinggi supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat.
(2)
Kepala Pengadilan Militer Tinggi dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya
permohonan tersebut.
(3)
Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 310

(1)
Pemeriksaan dengan acara pemeriksaan cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.
(2)
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) dikabulkan, Kepala Pengadilan Militer
Tinggi dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sesudah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 309 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277.
(3)
Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan paling lama
14 (empat belas) hari.
Paragraf 3
Pembuktian dan Putusan

Pasal 311

(1)
Alat bukti ialah:
a.
surat atau tulisan;
b.
keterangan ahli;

c.
keterangan saksi;
d.
pengakuan para pihak; dan
e.
pengetahuan hakim.
(2)
Keadaan yang sudah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Pasal 312
Surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu:

a.
akta autentik, adalah surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
b.
akta di bawah tangan, adalah surat yang dibuat dan ditanda-tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan
dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya; dan
c.
surat-surat lain yang bukan akta.
Pasal 313

(1)
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia
ketahui menurut pengetahuan dan pengalamannya.
(2)
Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai Saksi berdasarkan Pasal 297 tidak boleh memberikan keterangan
ahli.
Pasal 314

(1)
Hakim Ketua karena jabatannya atau atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak dapat menunjuk 1
(satu) orang atau beberapa orang ahli untuk didengar di persidangan.
(2)
Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang
dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya yang
sebaik-baiknya.
Pasal 315
Keterangan Saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat
dan/atau didengar oleh saksi sendiri.

Pasal 316

Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh
Hakim.

Pasal 317
Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

Pasal 318
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya
pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

Pasal 319

(1)
Putusan Pengadilan Militer Tinggi harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2)
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan Pengadilan Militer Tinggi
diucapkan, atas perintah Hakim Ketua, salinan putusan itu disampaikan dengan surat pos tercatat kepada yang
bersangkutan.
(3)
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat putusan Pengadilan Militer Tinggi
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 320

(1)
Putusan Pengadilan harus memuat:
a.
kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BER-DASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.
nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis
kelamin, kewarganegaraan, agama, tempat tinggal para pihak yang bersengketa;
c.
ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d.
pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi di persidangan selama sengketa
itu diperiksa;
e.
alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f.
amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara; dan
g.
hari tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak
hadirnya para pihak.
(2)
Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyebabkan batalnya
putusan Pengadilan.

(3)
Surat putusan ditandatangani oleh Hakim dan Panitera segera sesudah putusan itu diucapkan.
(4)
Apabila Hakim Ketua pada pemeriksaan dengan acara biasa atau pemeriksaan dengan acara cepat berhalangan
menandatangani, putusan Pengadilan Militer Tinggi ditandatangani oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi
dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua tersebut.
(5)
Apabila Hakim Anggota berhalangan menandatangani, putusan Pengadilan Militer Tinggi ditandatangani oleh
Hakim Ketua dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota tersebut.
Pasal 321
Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya perkara.

Pasal 322
Yang termasuk dalam biaya perkara ialah:

a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai;
b. biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta pemeriksaan lebih dari 5 (lima)
orang saksi harus membayar biaya untuk saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan;
c. biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruang sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas
perintah Hakim Ketua.

Pasal 323
Jumlah biaya perkara yang harus dibayar oleh Penggugat dan/atau Tergugat disebut dalam amar putusan akhir
Pengadilan Militer Tinggi.

Pasal 324

(1)
Putusan Pengadilan Militer Tinggi yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam sidang tidak dibuat
sebagai putusan tersendiri, tetapi hanya dicantumkan dalam berita acara sidang.
(2)
Pihak yang berkepentingan langsung dengan putusan Pengadilan Militer Tinggi dapat meminta salinan resmi
putusan itu dengan membayar biaya salinan.
Pasal 325

(1)
Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat berita acara sidang yang memuat segala sesuatu di sidang.
(2)
Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua dan Panitera dan apabila salah seorang dari mereka
berhalangan, hal ini dinyatakan dalam berita acara tersebut.
(3)
Apabila Hakim Ketua dan Panitera berhalangan menandatangani, berita acara ditandatangani oleh Kepala
Pengadilan Militer Tinggi dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua dan Panitera tersebut.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Tingkat Banding

Pasal 326
Terhadap putusan Pengadilan Militer Tinggi dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat
kepada Pengadilan Militer Utama.

Pasal 327

(1)
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus
dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Militer Tinggi yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang
waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan Pengadilan Militer Tinggi itu diberitahukan kepadanya secara sah.
(2)
Permohonan pemeriksaan banding disertai dengan pembayaran uang muka biaya perkara banding lebih dahulu,
yang besarnya ditaksir oleh Panitera.
Pasal 328
Putusan Pengadilan Militer Tinggi yang bukan putusan akhir, hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding
bersama-sama dengan putusan akhir.

Pasal 329

(1) Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalam buku register perkara.
(2) Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding.
Pasal 330

(1)
Paling lambat 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan
kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat mempelajari berkas perkara di kantor Pengadilan Militer Tinggi
dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah mereka menerima pemberitahuan tersebut.
(2)
Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan kepada Panitera Pengadilan
Militer Utama paling lambat 60 (enam puluh) hari sesudah pernyataan permohonan pemeriksaan banding.
(3)
Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding serta surat keterangan dan bukti
kepada Panitera Pengadilan Militer Utama dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau kontra memori
diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan Panitera Pengadilan Militer Tinggi.

Pasal 331

(1)
Pengadilan Militer Utama memeriksa dan memutus perkara banding dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
Hakim.
(2)
Apabila Pengadilan Militer Utama berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Militer Tinggi kurang lengkap,
Pengadilan Militer Utama tersebut dapat mengadakan sidang sendiri untuk melakukan pemeriksaan tambahan
atau memerintahkan Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan melaksanakan pemeriksaan tambahan itu.
(3)
Terhadap putusan Pengadilan Militer Tinggi yang menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara yang
diajukan kepadanya, sedangkan Pengadilan Militer Utama berpendapat lain, Pengadilan Militer Utama tersebut
dapat memeriksa dan memutus sendiri perkara itu atau memerintahkan Pengadilan Militer Tinggi yang
bersangkutan supaya memeriksa dan memutusnya.
(4)
Panitera Pengadilan Militer Utama dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan
Militer Utama beserta surat pemeriksaan dan surat lain kepada Pengadilan Militer Tinggi yang memutus pada
pemeriksaan tingkat pertama.
Pasal 332

(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 dan Pasal 288 berlaku juga bagi pemeriksaan pada tingkat
banding.
(2)
Ketentuan tentang hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (1) berlaku juga antara
Hakim dan/atau Panitera pada tingkat banding dengan Hakim atau Panitera pada tingkat pertama yang sudah
memeriksa dan memutus perkara yang sama.
(3)
Apabila seorang Hakim yang memutus pada tingkat pertama kemudian menjadi Hakim pada Pengadilan Militer
Utama, Hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama pada tingkat banding.
Pasal 333
Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Militer Utama, permohonan tersebut dapat
dicabut kembali oleh Pemohon, dan dalam hal permohonan pemeriksaan banding sudah dicabut, tidak dapat diajukan
lagi meskipun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.

Pasal 334
Dalam hal salah satu pihak sudah menerima dengan baik putusan Pengadilan Militer Tinggi, ia tidak dapat mencabut
kembali pernyataan tersebut, meskipun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding
tersebut belum lampau.

Bagian Keempat
Pemeriksaan Tingkat Kasasi


Pasal 335


(1)
Terhadap putusan Pengadilan tingkat banding, dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah
Agung.
(2)
Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan yang Sudah
Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap


Pasal 336


(1)
Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2)
Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Bagian Keenam
Pelaksanaan Putusan Pengadilan


Pasal 337
Hanya putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan.

Pasal 338

(1)
Salinan putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dikirimkan kepada para pihak dengan
surat pos tercatat oleh Panitera Pengadilan Militer Tinggi setempat atas perintah Kepala Pengadilan Tinggi yang
mengadilinya pada tingkat pertama paling lambat dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari.
(2)
Dalam hal 4 (empat) bulan sesudah putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 308 ayat (2) huruf a, keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan itu
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

(3)
Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat
(2) huruf b dan huruf c dan kemudian sesudah tenggang waktu 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakannya, Penggugat mengajukan permohonan kepada Kepala Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana di
maksud pada ayat (1), supaya Pengadilan Militer Tinggi memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut.
(4)
Apabila Tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Kepala Pengadilan Militer Tinggi mengajukan hal itu
kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
(5)
Instansi atasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam tenggang waktu 2 (dua) bulan sesudah menerima
pemberitahuan dari Kepala Pengadilan Militer Tinggi harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) untuk melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(6)
Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Kepala Pengadilan Militer Tinggi mengajukan hal itu kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakan
putusan Pengadilan tersebut.
Pasal 339

(1)
Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (4), apabila Tergugat tidak dapat
dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan
oleh berubahnya keadaan yang terjadi sesudah putusan Pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekuatan
hukum tetap, Tergugat wajib memberitahukan hal itu kepada Kepala Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 337 ayat (1) dan Penggugat.
(2)
Dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Pengadilan Militer Tinggi yang sudah
mengirimkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut agar Tergugat
dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkan.
(3)
Kepala Pengadilan Militer Tinggi sesudah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah uang
atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada Tergugat.
(4)
Apabila sesudah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetapi tidak dapat diperoleh kata sepakat mengenai
jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Kepala Pengadilan Militer Tinggi dengan penetapan yang disertai
dengan pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud.
(5)
Penetapan Kepala Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan baik oleh
Penggugat maupun oleh Tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali.
(6)
Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib ditaati kedua belah pihak.
Pasal 340

(1)
Dalam hal putusan Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (4) berisi kewajiban
bagi Tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pihak ketiga yang belum
pernah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut ketentuan
Pasal 292 dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan yang sudah
memperoleh kekuatan hukum tetap itu, dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan
pengadilan tersebut kepada Pengadilan Militer Tinggi yang mengadili sengketa itu pada tingkat pertama.
(2)
Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan pada saat sebelum putusan
pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan tentang
permohonannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 dan terhadap permohonan
perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 dan Pasal 277.
(3)
Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dengan sendirinya mengakibatkan ditundanya
pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.
Pasal 341

Kepala Pengadilan Militer Tinggi wajib mengawasi pelaksanaan putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum

tetap.

Bagian Ketujuh
Ganti rugi dan Rehabilitasi


Pasal 342


(1)
Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada Penggugat dan
Tergugat dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2)
Salinan Putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikirimkan pula oleh Pengadilan Militer Tinggi kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang
dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3)
Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 343

(1)
Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang administrasi personel dikabulkan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (4), salinan putusan pengadilan yang berisi kewajiban tentang
rehabilitasi dikirimkan kepada Penggugat dan Tergugat dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2)
Salinan putusan pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikirimkan pula oleh Pengadilan Militer Tinggi kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang
dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan itu memperoleh
kekuatan hukum tetap.
BAB VI
KETENTUAN LAIN


Pasal 344


(1)
Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara yang memerlukan keahlian khusus, Kepala Pengadilan
dimaksud dapat menunjuk seorang atau lebih Hakim Ad Hoc sebagai Anggota Majelis.
(2)
Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc seorang Prajurit harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 dan Pasal 19 kecuali syarat berijazah Sarjana Hukum dan syarat berpengalaman di bidang
peradilan dan/atau hukum.
(3)
Persyaratan sumpah jabatan dan larangan merangkap jabatan sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal
23 berlaku bagi Hakim Ad Hoc.
(4)
Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 345

(1)
Hakim Ketua memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan.
(2)
Segala sesuatu yang diperintahkan oleh Hakim Ketua untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib segera
dilaksanakan dengan cermat.
Pasal 346
Saksi atau ahli yang hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberi keterangan pada semua tingkat pemeriksaan
berhak mendapat penggantian biaya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 347

(1)
Siapapun dilarang membawa senjata api, bahan peledak, senjata tajam, atau alat/benda yang dapat
membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib menitipkan di tempat yang khusus
disediakan untuk itu.
(2)
Petugas keamanan sidang Pengadilan berhak mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin bahwa
kehadiran seseorang di ruang sidang tidak membawa senjata api, bahan peledak, senjata tajam atau alat/benda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan apabila terdapat petugas mempersilakan yang bersangkutan untuk
menitipkannya.
Pasal 348

(1)
Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan.
(2)
Siapa pun yang hadir dalam sidang pengadilan yang tidak mentaati tata tertib persidangan dan sesudah
diperintahkan oleh Hakim Ketua, tetap tidak menaati, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang
sidang.
(3)
Hakim Ketua dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 17 (tujuh belas) tahun tidak
diperkenankan menghadiri sidang.
Pasal 349

(1)
Sidang Pengadilan dilangsungkan di gedung Pengadilan atau di tempat lain yang ditentukan oleh Kepala
Pengadilan.
(2)
Tata ruang, pakaian seragam, dan tata tertib persidangan lain-lain diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 350
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang sudah ada mengenai susunan dan
kekuasaan Pengadilan dan Oditurat serta Hukum Acara Pidana Militer dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan
peraturan perundang-undangan baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.


Pasal 351

Semua Hakim, Oditur, dan Panitera pada Peradilan Militer yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku sudah
diangkat secara sah pada jabatan-jabatan yang bersangkutan, dianggap sudah diangkat dengan sah menurut
ketentuan dalam Undang-undang ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 352
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:

1.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Susunan dan
Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan (Undang-undang Darurat Nomor 16
Tahun 1950) sebagai Undang-undang Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 52) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 22 Pnps Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 91,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2781);
(1)
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Hukum Acara
Pidana pada Pengadilan Tentara (Undang-undang Darurat Nomor 17 Tahun 1950) sebagai Undang-undang
Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 13), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1958 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun
1950 (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 53) tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1493);
(2)
3. Undang-undang Nomor 5 Pnps Tahun 1965 tentang Pembentukan Pengadilan Bersama Angkatan Bersenjata
(Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2739);
5.
Undang-undang Nomor 3 Pnps Tahun 1965 tentang Memperlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara
Pidana Tentara dan Hukum Disiplin Tentara bagi Anggota-anggota Angkatan Kepolisian (Lembaran Negara
Tahun 1965 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2737), sebagaimana telah diubah dengan Undangundang
Nomor 23 Pnps Tahun 1965 tentang Perubahan dan Tambahan Pasal 2 Penetapan Presiden Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2782); dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 353
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, khusus mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer,
penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang ini
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd
SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd
MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 84


PENJELASAN
ATAS
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1997
TENTANG
PERADILAN MILITER


UMUM

Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum
(rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).
Hal tersebut mengandung arti bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Penegakan keadilan berdasarkan
hukum harus dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan, dan
setiap lembaga kemasyarakatan.
Upaya pembangunan hukum nasional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka mendukung upaya pembangunan
hukum nasional tersebut, hukum militer sebagai subsistem dari hukum nasional perlu dibina dan dikembangkan
sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ditetapkan
bahwa salah satu penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer, termasuk pengkhususannya (differensiasi/spesialisasi) yang susunan dan kekuasaan serta acaranya diatur
dalam undang-undang tersendiri.
Keberadaan peradilan militer tersebut diperkuat lagi oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undangundang
Nomo r 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa Angkatan Bersenjata
mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara.
Undang-undang yang menjadi dasar hukum peradilan militer yang selama ini berlaku adalah:

a.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Susunan dan
Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan Dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan, sebagai Undang-undang Federal
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 22 Pnps Tahun 1965, tentang Penetapan Presiden
tentang Perubahan beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan
Kekuasaan Badan-badan Peradilan Militer yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dalam peradilan
ketentaraan dilakukan oleh pengadilan ketentaraan, yaitu Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi dan
Pengadilan Tentara Agung, sedangkan kekuasaan kejaksaan dalam peradilan ketentaraan dilakukan oleh
Kejaksaan Tentara, Kejaksaan Tentara Tinggi dan Kejaksaan Tentara Agung.
Dalam Undang-undang tersebut Mahkamah Tentara Agung juga diberi wewenang untuk memeriksa dan
memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang berhubungan dengan jabatan yang dilakukan
oleh:
1) Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, jika jabatan ini dipangku oleh anggota Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat;
2) Panglima Besar;
3) Kepala Staf Angkatan Perang;
4) Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.


b.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Hukum Acara
Pidana Pada Pengadilan Tentara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1958
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana Pada Pengadilan
Ketentaraan yang menyatakan bahwa hukum acara pidana pada peradilan ketentaraan berlaku sebagai pedoman
het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan perubahan dalam Undang-undang tersebut; sedangkan yang
mengatur pemeriksaan pada Mahkamah Tentara Agung dan Pengadilan Tentara Tinggi dalam tingkat kedua
berpedoman pada titel 15 Strafvordering. Dengan dicabutnya HIR oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, dalam praktek peradilan, Mahkamah Militer menggunakan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman.
c.
Undang-undang Nomor 3 Pnps Tahun 1965 tentang Memperlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara
Pidana Tentara dan Hukum Disiplin Tentara Bagi Anggota-Anggota Angkatan Kepolisian sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 23 Pnps Tahun 1965 tentang Perubahan dan Tambahan Pasal 2
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1965 yang menyatakan Angkatan Kepolisian
menyelenggarakan sendiri peradilan militer dalam lingkungannya.
Peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas ternyata tidak dapat dipertahankan lagi karena
tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan dan hukum militer sebagai subsistem dari hukum nasional.
Oleh karena itu peraturan perundang-undangan tersebut perlu dicabut dan diatur kembali untuk disesuaikan
dengan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982.
d.
Undang-undang Nomor 5 Pnps Tahun 1965 tentang Pembentukan Pengadilan Bersama Angkatan Bersenjata
dalam rangka peningkatan pelaksanaan Dwi Komando Rakyat (DWIKORA) berdasarkan Undang-undang Nomor

5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai undang-undang,
pada lampiran III B, menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 5 Pnps Tahun 1965 diserahkan kewenangannya
untuk meninjau lebih lanjut dan mengaturnya kembali kepada Pemerintah dalam peraturan perundang-undangan
atau dijadikan bahan bagi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan materi masing-masing.
Dengan berakhirnya DWIKORA dan adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969, Undang-undang Nomor 5
Pnps Tahun 1965 perlu dicabut karena sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan.

Dalam rangka memenuhi kepentingan Angkatan Bersenjata untuk memelihara disiplin dan keutuhan pasukan serta
penegakan hukum dan keadilan di daerah pertempuran, perlu adanya pengadilan militer pertempuran yang bersifat
mobil mengikuti gerakan pasukan, yang berwenang memeriksa dan mengadili tingkat pertama dan terakhir semua
tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit yang terjadi di daerah pertempuran.
Peradilan militer yang merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa dalam bidang tata usaha Angkatan Bersenjata dan dalam soal-soal kepegawaian militer
sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1953 tentang Kedudukan Hukum Anggota
Angkatan Perang dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1958 tentang Undang-undang Militer Sukarela ternyata
belum terlaksana sampai kedua Undang-undang tersebut dicabut dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988
tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kewenangan peradilan ketentaraan adalah juga termasuk kewenangan mengadili perkara Tata Usaha di lingkungan
Angkatan Bersenjata dan soal-soal tentara.
Sementara itu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 2 huruf f,
menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara.
Dengan demikian, sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata termasuk kewenangan peradilan militer dan oleh karena
itu perlu diatur dalam Undang-undang ini.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh:

a.
Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer yang terdiri dari:
1) Pengadilan Militer yang merupakan pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana yang terdakwanya
berpangkat Kapten ke bawah;
2)
Pengadilan Militer Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana yang diputus
pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer.
Pengadilan Militer Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama untuk:
a) perkara pidana yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya berpangkat Mayor ke atas; dan
b) gugatan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.

3)
Pengadilan Militer Utama yang merupakan pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana dan sengketa
Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi;

b.
Pengadilan Militer Pertempuran yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam mengadili
perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit di daerah pertempuran, yang merupakan pengkhususan
(differensiasi/spesialisasi) dari pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pengadilan itu merupakan
organisasi kerangka yang baru berfungsi apabila diperlukan dan disertai pengisian pejabatnya.
Badan-badan peradilan tersebut pada huruf a dan huruf b, semua berpuncak pada Mahkamah Agung sesuai dengan
prinsip-prinsip yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Susunan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer ditetapkan seperti tersebut di atas karena yustisiabelnya
adalah prajurit yang diberi pangkat sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam hirarki keprajuritan
untuk menegakkan disiplin dan kehormatan prajurit.
Wewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat pertama
berada pada Pengadilan Militer Tinggi, karena pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata sebagai tergugat umumnya
golongan perwira menengah ke atas.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan
Angkatan Bersenjata secara organisatoris dan administratif berada di bawah pembinaan Panglima. Pembinaan
tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, dalam Undang-undang ini
tidak dikenal lagi Mahkamah Tentara Agung yang secara ex officio ketuanya dijabat oleh Ketua Mahkamah Agung.
Namun fungsi pengawasan dan pembinaan teknis yustisial pengadilan dalam lingkungan peradilan militer tetap di
bawah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Sementara itu Pengadilan Militer Utama diberi tugas
untuk melaksanakan pengawasan sehari-hari terhadap pengadilan di bawahnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya, serta Undangundang
Nomor 14 Tahun 1970, Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Agar pengadilan dalam lingkungan peradilan militer bebas
memberikan putusannya, perlu ada jaminan bahwa baik pengadilan maupun hakim dalam melaksanakan tugas terlepas
dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh lainnya.
Oleh karena itu, Hakim di lingkungan peradilan militer diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara
atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Dalam hal Pengadilan memeriksa dan mengadili perkara yang memerlukan keahlian khusus, Kepala Pengadilan yang
bersangkutan dapat menunjuk seorang perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai Hakim Ad Hoc
untuk bertugas selaku Hakim Anggota Majelis yang akan mengadili perkara dimaksud.


Bagi Hakim Ad Hoc tidak berlaku persyaratan-persyaratan tertentu seperti yang berlaku bagi Hakim Militer atau
Hakim Militer Tinggi.
Untuk lebih meneguhkan kehormatan dan kewibawaan hakim serta pengadilan dalam lingkungan peradilan militer,
perlu juga dijaga kualitas kemampuan para hakim, dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi hakim
yang diatur dalam Undang-undang ini, dan diperlukan pembinaan sebaik-baiknya dengan tidak mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Selain itu diadakan juga larangan bagi para hakim merangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan
pengadilan, pengusaha, dan setiap jabatan yang bersangkutan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili
olehnya, dan jabatan lain yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan prasangka keras, bahwa seorang hakim telah melakukan perbuatan tercela
dipandang dari sudut kesopanan dan kesusilaan, atau telah melakukan kejahatan, atau kelalaian yang berulang kali
dalam tugas, dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara,
setelah ia diberi kesempatan membela diri.
Mengingat luas lingkup tugas dan berat beban tugas yang harus dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer, perlu adanya perhatian yang besar terhadap tata cara dan pelaksanaan pengelolaan administrasi
pengadilan.
Hal ini sangat penting karena menyangkut aspek ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi di bidang perkara
yang akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan peradilan itu sendiri. Oleh karena itu penyelenggaraan
administrasi perkara dan administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial) dalam Undang-undang ini
dibebankan kepada Panitera.
Kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan di lingkungan Angkatan Bersenjata, dilaksanakan oleh
Oditurat dalam lingkungan peradilan militer yang terdiri dari:

a. Oditurat Militer, yang merupakan badan penuntutan pada Pengadilan Militer;
b. Oditurat Militer Tinggi, yang merupakan badan penuntutan pada Pengadilan Militer Tinggi;
c. Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata, yang merupakan badan penuntutan tertinggi di lingkungan Angkatan
Bersenjata; dan
d. Oditurat Militer Pertempuran, yang merupakan badan penuntutan pada Pengadilan Militer Pertempuran.

Oditurat di lingkungan peradilan militer adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan senantiasa
menjunjung tinggi prinsip bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum.
Oditurat di lingkungan peradilan militer secara teknis yustisial, pembinaannya berada di bawah Oditur Jenderal,
sedangkan organisatoris dan administratif berada di bawah Panglima.
Di samping mengatur susunan, kekuasaan, tugas, dan wewenang Oditurat di lingkungan peradilan militer, Undangundang
ini menetapkan pula:


a.
kewenangan Oditur di lingkungan peradilan militer untuk melakukan penyidikan terhadap perkara tertentu atas
perintah Oditur Jenderal;
b.
kewenangan Oditur di lingkungan peradilan militer untuk melengkapi berkas perkara dengan melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum perkara diserahkan kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum; dan
c.
kewenangan Oditur Jenderal untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian dalam bidang penyidikan,
penyerahan perkara, penuntutan dan pelaksanaan putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Untuk meneguhkan kehormatan, kewibawaan, dan keahlian teknis Oditur dalam lingkungan peradilan militer, perlu
dijaga kualitas kemampuannya dengan ditetapkannya syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentiannya dalam
Undang-undang ini, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Panglima.
Oditur Militer, Oditur Militer Tinggi, dan Oditur Jenderal adalah pejabat fungsional yang melaksanakan kekuasaan
pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan.
Dalam Undang-undang ini diatur pula, tentang hukum acara pada peradilan militer yang berpedoman pada asas-asas
yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tanpa mengabaikan asas dan ciri-ciri tata kehidupan
militer sebagai berikut :

a.
asas kesatuan komando.
Dalam kehidupan militer dengan struktur organisasinya, seorang komandan mempunyai kedudukan sentral dan
bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Oleh karena itu seorang komandan diberi
wewenang penyerahan perkara dalam penyelesaian perkara pidana dan berkewajiban untuk menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang diajukan oleh anak buahnya melalui upaya administrasi.
Sesuai dengan asas kesatuan komando tersebut di atas, dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak dikenal adanya
pra peradilan dan pra penuntutan.
Namun dalam Hukum Acara Pidana Militer dan Hukum Acara Tata Usaha Militer dikenal adanya lembaga ganti
rugi dan rehabilitasi.
b.
asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya.
Dalam tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Angkatan Bersenjata, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru,
bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan harus bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak
buahnya.
Asas ini adalah merupakan kelanjutan dari asas kesatuan komando.

c.
asas kepentingan militer.
Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada
kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus dalam proses peradilan kepentingan militer selalu
diseimbangkan dengan kepentingan hukum.
Hukum acara pada peradilan militer yang diatur dalam Undang-undang ini disusun berdasarkan pendekatan
kesisteman dengan memadukan berbagai konsepsi hukum acara pidana nasional yang antara lain tertuang dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dan konsepsi Hukum Acara Tata Usaha Negara yang tertuang dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan berbagai kekhususan acara yang bersumb er dari asas dan ciri-ciri
tata kehidupan Angkatan Bersenjata.
Berdasarkan pendekatan kesisteman ini, sepanjang tidak bertentangan dengan asas dan ciri-ciri tata kehidupan
Angkatan Bersenjata, berbagai konsepsi dan rumusan hukum acara pidana yang tertuang dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 dan Hukum Acara Tata Usaha Negara yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 diakomodasikan ke dalam hukum acara pidana militer dan hukum acara tata usaha militer, yang muatannya
mencakup:

a.
Hukum Acara Pidana Militer.
1)
Tahap penyidikan.
Atasan yang Berhak Menghukum, Polisi Militer dan Oditur adalah Penyidik.
Namun kewenangan penyidikan yang ada pada Atasan yang Berhak Menghukum tidak dilaksanakan
sendiri, tetapi dilaksanakan oleh penyidik Polisi Militer dan/atau Oditur.
Dalam Undang-undang ini tidak secara khusus diatur tentang penyelidikan sebagai salah satu tahap
penyidikan, karena penyelidikan merupakan fungsi yang melekat pada komandan yang pelaksanaannya
dilakukan oleh penyidik Polisi Militer.
Atasan yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara mempunyai kewenangan penahanan, yang
pelaksanaan penahanannya hanya dilaksanakan di rumah tahanan militer, karena di lingkungan peradilan
militer hanya dikenal satu jenis penahanan yaitu penahanan di rumah tahanan militer.

2)
Tahap penyerahan perkara.
Wewenang penyerahan perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum ada pada Perwira Penyerah Perkara.
Dalam Hukum Acara Pidana Militer, tahap penuntutan termasuk dalam tahap penyerahan perkara, dan
pelaksanaan penuntutan dilakukan oleh Oditur yang secara teknis yuridis bertanggung jawab kepada Oditur
Jenderal, sedangkan secara operasional justisial bertanggung jawab kepada Perwira Penyerah Perkara.

3)
Tahap pemeriksaan dalam persidangan.
Dalam pemeriksaan perkara pidana dikenal adanya acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan cepat, acara
pemeriksaan khusus, dan acara pemeriksaan koneksitas.
Acara pemeriksaan cepat adalah acara untuk memeriksa perkara lalu lintas dan angkutan jalan.
Acara pemeriksaan khusus adalah acara pemeriksaan pada Pengadilan Militer Pertempuran, yang merupakan
Pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit di daerah
pertempuran yang hanya dapat diajukan permintaan kasasi.
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim bebas menentukan siapa yang akan diperiksa terlebih
dahulu.
Pada asasnya sidang pengadilan terbuka untuk umum, kecuali untuk pemeriksaan perkara kesusilaan, sidang
dinyatakan tertutup. Pada prinsipnya pengadilan bersidang dengan hakim majelis kecuali dalam acara
pemeriksaan cepat.
Terhadap tindak pidana militer tertentu, Hukum Acara Pidana Militer mengenal peradilan in absensia yaitu
untuk perkara desersi. Hal tersebut berkaitan dengan kepentingan komando dalam hal kesiapan kesatuan,
sehingga tidak hadirnya prajurit secara tidak sah, perlu segera ditentukan status hukumnya.

4)
Tahap pelaksanaan putusan.
Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan hakim dilaksanakan oleh Kepala Pengadilan pada tingkat
pertama dan khusus pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat dilakukan dengan bantuan
komandan yang bersangkutan, sehingga komandan dapat memberikan bimbingan supaya terpidana kembali
menjadi prajurit yang baik dan tidak akan melakukan tindak pidana lagi.
Khusus dalam pelaksanaan putusan tentang ganti rugi akibat penggabungan gugatan ganti rugi dalam
perkara pidana dilaksanakan oleh Kepala Kepaniteraan sebagai juru sita.

b.
Hukum Acara Tata Usaha Militer.
Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata bagi Prajurit lebih dahulu harus diselesaikan melalui upaya
administrasi.
Apabila tidak ditemukan penyelesaiannya, baru kemudian dapat diajukan gugatan kepada Pengadilan Militer
Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama.
Dalam pemeriksaan perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dikenal adanya acara pemeriksaan biasa
dan acara pemeriksaan cepat. Pemeriksaan cepat digunakan apabila kepentingan penggugat yang sangat
mendesak untuk segera diperiksa dan diadili.
1) Tahap gugatan
Gugatan dibuat oleh seseorang termasuk Prajurit, badan hukum perdata atau kuasanya, diajukan kepada
Pengadilan Militer Tinggi.


Gugatan tersebut berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.

2)
Tahap pemeriksaan dalam persidangan.
Pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dalam persidangan antara lain:
a) hakim berperan lebih aktif guna mencari kebenaran dan keadilan;
b) gugatan Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak bersifat menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha

Angkatan Bersenjata;

c)
atas putusan Pengadilan Militer Tinggi mengenai sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata masih
dapat diadakan upaya hukum banding kepada Pengadilan Militer Utama, kasasi dan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung.

3)
Tahap pelaksanaan putusan.
Panitera atas perintah Kepala Pengadilan Militer Tinggi mengirimkan putusan kepada para pihak yang
bersengketa, supaya isi amar putusan tersebut dilaksanakan oleh tergugat/penggugat.

Kekhususan lain dari Hukum Acara pada Peradilan Militer adalah tentang bantuan hukum, yaitu bahwa setiap
pemberian bantuan hukum oleh penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa harus atas perintah atau seizin
Perwira Penyerah Perkara atau pejabat lain yang ditunjuknya.
Penasihat hukum yang mendampingi Terdakwa sipil dalam perkara koneksitas yang disidangkan di lingkungan
peradilan militer harus seizin Kepala Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Materi Undang-undang ini mencakup Susunan dan Kekuasaan Pengadilan dan Oditurat dalam lingkungan Peradilan
Militer, Hukum Acara Pidana Militer, dan Hukum Acara Tata Usaha Militer dengan pertimbangan sebagai berikut :

a.
Pengadilan dan Oditurat di lingkungan peradilan militer yang merupakan sarana pembinaan prajurit secara
organisatoris, administratif, dan finansial pembinaannya berada di bawah Panglima, serta tidak terlepas
keberadaannya dari upaya penyelenggaraan pertahanan keamanan negara;
b.
Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama selain mempunyai kewenangan mengadili perkara pidana
juga mempunyai kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata sesuai dengan hukum acaranya masing-masing;
c.
penyusunan beberapa materi dalam satu Undang-undang ini bukan merupakan kodifikasi melainkan hanya
pengelompokan, sehingga tiap materi undang-undang tidak kehilangan asasnya masing-masing, serta tidak
menyalahi sistem hukum nasional;
d.
dalam Undang-undang ini, istilah Angkatan Bersenjata, Militer, dan Tentara diartikan sama, kecuali apabila diberi
pengertian khusus.
PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Karena fungsi pembinaan teknis pengadilan dan pengawasan tertinggi ada pada Mahkamah Agung, Mahkamah
Agung berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Pengadilan yang sehari-hari dilaksanakan oleh
Pengadilan Militer Utama.

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Angka 1
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah orang sipil yang menurut kenyataan bekerja pada Angkatan Bersenjata
yang diberi kewajiban untuk memegang rahasia militer, melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan
kewajibannya, dengan ketentuan bahwa orang tersebut tidak termasuk pada ketentuan huruf a, huruf b, dan huruf c.
Angka 2


Wewenang sebagaimana dimaksud pada angka 2 ini berada pada Pengadilan Militer Tinggi sebagai Pengadilan
tingkat pertama dan Pengadilan Militer Utama sebagai Pengadilan tingkat banding.
Angka 3
Cukup jelas

Pasal 10

Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a lebih kuat daripada syarat sebagaimana dimaksud pada huruf b.

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya, misalnya sidang di
lapangan untuk memeriksa barang bukti yang terletak di luar daerah hukumnya.


Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Di persidangan Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama yang Terdakwanya berpangkat Kolonel, Hakim
Anggota, dan Oditur berpangkat paling rendah Kolonel, sedangkan apabila Terdakwanya perwira tinggi misalnya
Brigadir Jenderal/Laksamana Pertama/ Marsekal Pertama, Hakim Ketua, Hakim Anggota, dan Oditur paling rendah
berpangkat Brigadir Jenderal/Laksamana Pertama/Marsekal Pertama.
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)
Dalam persidangan dibantu oleh seorang Panitera yang melaksanakan tugas kepaniteraan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas


Pasal 18

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Seorang Prajurit yang akan diangkat menjadi Hakim Militer diutamakan selain harus memenuhi syarat berpangkat
paling rendah Kapten dan berijazah Sarjana Hukum juga yang sudah lulus pendidikan Hakim.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas


Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "alih jabatan" adalah perpindahan dari jabatan yang satu kepada jabatan yang lain, yang
tidak dapat dirangkap dengan jabatan Hakim, misalnya dari jabatan Hakim kepada jabatan Oditur.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus-menerus" adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak
mampu lagi melaksanakan tugas kewajibannya dengan baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "masa pensiun" adalah masa pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2
Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1990
tentang Administrasi Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dipidana" adalah dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah apabila Hakim yang bersangkutan mempunyai sikap
dan melakukan perbuatan atau tindakan baik di dalam maupun di luar kedinasan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksud dengan "tugas jabatan" adalah semua tugas fungsional Hakim.
Apabila alasan yang dicantumkan pada ayat ini juga merupakan alasan bagi pemberhentian tidak dengan hormat
sebagai Prajurit, pemberhentian tidak dengan hormat seorang Hakim dari jabatannya dapat diikuti dengan
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Prajurit, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Majelis Kehormatan Hakim" adalah suatu badan nonstruktural yang dibentuk oleh Panglima
untuk setiap kasus yang diajukan, yang berfungsi memberikan pertimbangan kepada Panglima tentang layak tidaknya
seorang Hakim untuk diusulkan diberhentikan tidak dengan hormat kepada Presiden. Kesempatan untuk membela diri
di hadapan Majelis Kehormatan Hakim adalah sepanjang yang menyangkut pelaksanaan tugas dalam jabatan
fungsionalnya.

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "alih jabatan" adalah perpindahan dari jabatan yang satu kepada jabatan yang lain yang tidak
dapat dirangkap dengan jabatan Panitera, misalnya dari jabatan Panitera kepada jabatan Oditur.



Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus-menerus", lihat Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf c.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "masa pensiun", lihat Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf d.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 36

Yang dimaksud dengan "dipidana" adalah dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah apabila Panitera yang bersangkutan mempunyai sikap
dan melakukan perbuatan atau tindakan baik di dalam maupun di luar kedinasan merendahkan martabat Panitera.
Yang dimaksud dengan "tugas jabatan" adalah semua tugas fungsional Panitera yang dibebankan kepadanya.
Apabila alasan yang tercantum pada ayat ini juga merupakan alasan bagi pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
Prajurit, pemberhentian tidak dengan hormat seorang Panitera dari jabatannya dapat diikuti dengan pemberhentian
tidak dengan hormat sebagai Prajurit, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)
Menyelenggarakan administrasi perkara berarti mengatur dan membina kerja sama, mengintegrasikan dan
menyinkronkan kegiatan dan tugas Panitera dan/atau Panitera Pengganti dalam menyelenggarakan seluruh
administrasi perkara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "biaya perkara" adalah mengenai biaya perkara Tata Usaha Angkatan Bersenjata.


Pasal 39

Larangan membawa ke luar meliputi segala bentuk apapun juga memindahkan isi daftar, catatan risalah, berita acara,
serta berkas ke luar ruang kerja kepaniteraan.

Pasal 40

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penentuan tingkat pangkat Kapten ke bawah didasarkan atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri
Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Sebagai contoh, orang sipil yang
Pegawai Negeri Sipil dengan golongan III/c setingkat kepangkatannya dengan Kapten.
Huruf c
Yang dimaksud dalam ketentuan ini, lihat Penjelasan Pasal 9 angka 1 huruf d

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Sengketa tentang wewenang mengadili antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer, misalnya tindak
pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa Prajurit yang pangkatnya berlainan, yaitu ada Kapten ke
bawah bersama-sama Mayor ke atas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 44

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "Hakim" adalah Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, dan Hakim Militer Utama kecuali yang
merangkap jabatan sebagai Kepala Pengadilan Militer Utama.


Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Oditurat adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan" adalah satu landasan dalam pelaksanaan
tugas dan wewenang di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijaksanaan di bidang penuntutan
sehingga dapat menampilkan ciri-ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Oditurat.


Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pembentukan unit pelaksana teknis Oditurat Militer, terutama didasarkan kepada pertimbangan luas daerah hukum
Oditurat Militer dan/atau banyaknya perkara, guna kecepatan penyelesaian perkara dan pendekatan pelayanan
hukum bagi satuan Angkatan Bersenjata.


Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51

Cukup jelas

Pasal 52

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Seorang Prajurit yang akan diangkat menjadi Oditur diutamakan selain harus memenuhi syarat berpangkat paling
rendah Kapten dan berijazah Sarjana Hukum juga yang sudah lulus pendidikan Oditur.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas

Pasal 53

Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

Ayat (1)
Jabatan Oditur dan Oditur Jenderal sebagai jabatan fungsional, terkait dengan fungsi yang secara khusus dijalankan
oleh Oditur dan Oditur Jenderal dalam bidang penuntutan sehingga memungkinkan organisasi Oditurat menjalankan
tugas pokoknya.
Oditur dan Oditur Jenderal dalam melaksanakan jabatan fungsional di bidang penuntutan bertindak sebagai wakil dari
kesatuan, masyarakat, pemerintah, dan negara. Oleh karena itu, pelaksanaan penuntutan harus memperhatikan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat pada umumnya di lingkungan Angkatan Bersenjata pada khususnya.
Di samping itu, arah penuntutan harus pula diselaraskan dengan kebijaksanaan pemerintah, negara, dan kepentingan
pertahanan keamanan negara dalam penanganan perkara pidana.


Yang dimaksud dengan "bertanggung jawab menurut saluran hirarki" adalah Oditur dalam melaksanakan tugas
fungsional yang diembannya harus bertanggung jawab kepada pejabat Oditurat yang secara organisatoris
membawahkan Oditur tersebut.
Sebagai contoh, Kepala Unit Pelaksana Teknis Oditurat bertanggung jawab kepada Kepala Oditurat Militer. Demikian
pula Kepala Oditurat Militer bertanggung jawab kepada Kepala Oditurat Militer
Tinggi dan Kepala Oditurat Militer Tinggi bertanggung jawab kepada Oditur Jenderal.
Oditur Jenderal dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung
Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan dalam
pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 58

Cukup jelas

Pasal 59

Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "alih jabatan" adalah perpindahan dari jabatan yang satu kepada jabatan yang lain, yang
tidak dapat dirangkap dengan jabatan Oditur dan Oditur Jenderal, misalnya dari jabatan Oditur kepada jabatan Hakim.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus-menerus", lihat Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf c.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "masa pensiun", lihat Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf d.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 60

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dipidana" adalah dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah apabila Oditur atau Oditur Jenderal yang bersangkutan
mempunyai sikap dan melakukan perbuatan atau tindakan baik di dalam maupun di luar kedinasan merendahkan
martabat Oditur atau Oditur Jenderal.
Yang dimaksud dengan "tugas jabatan" adalah semua tugas fungsional Oditur atau Oditur Jenderal yang dibebankan
kepadanya.
Apabila alasan yang dicantumkan pada ayat ini juga merupakan alasan bagi pemberhentian tidak dengan hormat
sebagai Prajurit, pemberhentian tidak dengan hormat seorang Oditur atau Oditur Jenderal dari jabatannya dapat
diikuti dengan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Prajurit, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Ayat (2)
Majelis Kehormatan Oditur adalah suatu badan nonstruktural yang dibentuk oleh Panglima untuk setiap kasus yang
diajukan, yang berfungsi memberikan pertimbangan kepada Panglima tentang layak tidaknya seorang Oditur
diberhentikan tidak dengan hormat.
Kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Oditur adalah sepanjang menyangkut pelaksanaan
tugas dalam jabatan fungsionalnya.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Cukup jelas

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Ayat (1)
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Penentuan tingkat kepangkatan Kapten ke bawah, lihat Penjelasan Pasal 40 huruf b.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c


Pemeriksaan tambahan dilakukan terhadap Tersangka atau Saksi guna melengkapi berkas perkara untuk memenuhi
persyaratan penuntutan baik formal maupun materiil.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyidikan" adalah penyidikan yang sejak awal dilakukan sendiri oleh Oditur atas perintah
Oditur Jenderal, baik untuk tindak pidana umum maupun untuk tindak pidana tertentu.


Pasal 65

Ayat (1)
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Penuntutan terhadap Terdakwa yang tingkat kepangkatannya Mayor ke atas didasarkan atas Keputusan Panglima
dengan persetujuan Menteri Kehakiman yang harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi. Sebagai contoh orang sipil
yang Pegawai Negeri Sipil dengan golongan IV/a setingkat kepangkatannya dengan Mayor.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pemeriksaan tambahan", lihat Penjelasan Pasal 64 ayat (1) huruf c.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyidikan", lihat Penjelasan Pasal 64 ayat (2).


Pasal 66

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Untuk menyelenggarakan pengkajian masalah kejahatan antara lain dengan cara menyelenggarakan data administrasi
proses penyelesaian perkara pidana di lingkungan Angkatan Bersenjata secara terpusat.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perkara tindak pidana tertentu yang acaranya diatur secara khusus", antara lain adalah
tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi.

Pasal 67

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "tugas khusus" antara lain adalah tugas lain selain dari tugas fungsional Oditurat.

Pasal 68

Cukup jelas

Pasal 69

Ayat (1)
Huruf a
Sesuai dengan asas Kesatuan Komando, Komandan bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak
buahnya, kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan yang berada di
bawah wewenang komandonya merupakan wewenang yang melekat pada Atasan yang Berhak Menghukum, supaya
dapat menentukan nasib bawahan yang dimaksud dalam penyelesaian perkara pidana yang pelaksanaannya
dilimpahkan kepada Penyidik Polisi Militer dan/atau Oditur.
Huruf b
Penyidik Polisi Militer adalah salah seorang pejabat yang mendapat pelimpahan wewenang dari Panglima selaku
Atasan yang Berhak Menghukum tertinggi untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
Prajurit.
Huruf c
Penyidik Oditur adalah salah seorang pejabat yang mendapat pelimpahan wewenang dari Panglima selaku Atasan
yang Berhak Menghukum tertinggi untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit.
Ayat (2)
Provos adalah bagian organik satuan yang tugasnya membantu Komandan/Pimpinan pada markas/kapal/kesatrian/
pangkalan dalam menyelenggarakan penegakan hukum, disiplin, tata tertib, dan pengamanan lingkungan
kesatuannya.

Pasal 70

Cukup jelas

Pasal 71

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b


Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Dalam perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan, cukup memeriksa Saksi yang ada dan pemberkasan
perkaranya tidak terhalang dengan tidak adanya pemeriksaan Tersangka.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Yang dimaksud dengan "tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab" adalah tindakan dari Penyidik untuk
kepentingan penyidikan dengan syarat:

1. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
3. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk di lingkungan jabatannya;
4. atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan
5. menghormati hak asasi manusia dan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut di atas Penyidik wajib menjunjung
tinggi hukum yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Cukup jelas

Pasal 74

Demi efektifnya pelaksanaan kewenangan penyidikan dari Atasan yang Berhak Menghukum tersebut dan untuk
membantu supaya Atasan yang Berhak Menghukum dapat lebih memusatkan perhatian, tenaga, dan waktu dalam
melaksanakan tugas pokoknya, pelaksanaan penyidikan tersebut dilakukan oleh Penyidik Polisi Militer atau Oditur.

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" adalah bukti permulaan yang sekurang-kurangnya terdiri dari
laporan polisi ditambah salah satu bukti lainnya yang berupa berita acara pemeriksaan Saksi, berita acara pemeriksaan
di tempat kejadian perkara, laporan hasil penyidikan sebagai alasan atau syarat untuk dapat menangkap seseorang
yang diduga sudah melakukan tindak pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "1 (satu) hari" adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.


Pasal 77

Ayat (1)
Perintah penangkapan dikeluarkan oleh Atasan yang Berhak Menghukum/Komandan yang bersangkutan, dan
dikeluarkan sebelum penangkapan dilaksanakan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas


Pasal 78

Cukup jelas

Pasal 79

Cukup jelas

Pasal 80

Cukup jelas

Pasal 81

Ayat (1)
Penangguhan penahanan yang dimaksud pada ayat ini tidak berdasarkan jaminan. Yang dimaksud dengan
"persyaratan yang ditentukan" adalah baik persyaratan umum bahwa ia tidak akan menyulitkan jalannya pemeriksaan,
tidak melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi melakukan tindak pidana, maupun



persyaratan khusus ialah yang ditentukan oleh Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara,
misalnya wajib lapor.
Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 82

Penggeledahan terhadap wanita dilakukan oleh pejabat Penyidik wanita atau wanita lain yang bukan penyidik yang
ditunjuk oleh Penyidik.
Dalam hal Penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, Penyidik meminta bantuan kepada
dokter atau pejabat lain yang ditunjuknya.


Pasal 83

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "rumah" adalah bangunan, gedung, atau tempat lain yang dipakai sebagai tempat tinggal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "ketua lingkungan" adalah pelaksana fungsi pemerintahan daerah yang senama dengan
fungsi ketua rukun tetangga atau ketua rukun warga. Pengertian kepala desa atau ketua lingkungan termasuk
pimpinan asrama di lingkungan Angkatan Bersenjata.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas


Pasal 84

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "keadaan yang sangat perlu dan mendesak" adalah apabila di tempat yang akan digeledah
diduga keras terdapat Tersangka yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau
benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan Surat Perintah
Penggeledahan dari Penyidik tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat.
Pengertian tempat lain adalah termasuk penginapan dan temp at umum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 85

Cukup jelas

Pasal 86

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Polisi Militer" adalah Polisi Militer yang bukan Penyidik.
Ayat (2)
Penggeledahan badan dilakukan dengan ketentuan, lihat Penjelasan Pasal 82.


Pasal 87

Cukup jelas

Pasal 88

Cukup jelas

Pasal 89

Cukup jelas

Pasal 90

Yang dimaksud dengan "surat yang diperuntukkan bagi Tersangka atau yang berasal dari padanya" adalah termasuk
surat kawat, surat teleks, dan surat lain yang sejenis yang mengandung suatu berita yang diperlukan dalam
penyidikan.

Pasal 91

Cukup jelas

Pasal 92

Cukup jelas

Pasal 93

Ayat (1)
Selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara dimaksud, benda sitaan negara tersebut disimpan di
kantor Polisi Militer, atau kantor Oditurat, atau kantor Pengadilan, atau gedung Bank Pemerintah, dan dalam keadaan
memaksa di tempat lain atau di tempat semula benda itu disita.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 94

Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "diamankan" adalah tindakan penempatan atau penyimpanan terhadap benda-benda tertentu
yang karena sifatnya mudah terbakar, meledak atau dapat membahayakan kesehatan orang dan lingkungan.



Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "benda sitaan yang bersifat terlarang" adalah benda yang dari keadaan hakikinya
membahayakan bagi orang atau masyarakat, antara lain obat terlarang, ganja, narkotik dan sejenisnya, serta bahan
peledak.
Yang dimaksud dengan "benda sitaan yang dilarang untuk diedarkan" adalah benda yang pada dasarnya tidak
bersifat membahayakan tetapi karena dibuat untuk maksud atau memuat hal-hal tertentu yang terlarang sehingga
dilarang untuk diedarkan, antara lain film porno, majalah porno, buku yang memuat faham atau ajaran aliran
kepercayaan yang terlarang.

Pasal 95

Cukup jelas

Pasal 96

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "surat lain" adalah surat yang tidak langsung mempunyai hubungan dengan tindak pidana
yang diperiksa tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 97

Cukup jelas

Pasal 98

Cukup jelas

Pasal 99

Cukup jelas

Pasal 100

Ayat (1)
Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh Pelapor. Laporan atau pengaduan
yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh Penyidik dan ditandatangani oleh Pelapor dan Penyidik. Sesudah
menerima laporan atau pengaduan, Penyidik atau Atasan yang Berhak Menghukum harus memberikan tanda
penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. Pengaduan hanya dilakukan oleh orang yang
berhak menurut ketentuan delik aduan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 101

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penghentian penyidikan" adalah suatu tindakan untuk menghentikan penyidikan karena
tidak terdapat cukup bukti atau bukan merupakan tindak pidana atau karena demi kepentingan hukum.


Pasal 102

Cukup jelas

Pasal 103

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila tidak ada petugas Polisi Militer, ditunjuk petugas lain. Sesuai dengan kewajiban hukum bahwa setiap orang
yang diperlukan sebagai Saksi di peradilan negara wajib hadir, dalam perkara yang Terdakwanya Prajurit, Saksi yang
bukan prajurit wajib hadir memenuhi panggilan dan apabila tidak hadir tanpa alasan sah, dapat dikenakan upaya
paksa.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 104

Cukup jelas

Pasal 105


Untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, sejak dalam taraf penyidikan kepada Tersangka sudah dijelaskan bahwa
Tersangka berhak didampingi Penasihat Hukum pada pemeriksaan di sidang Pengadilan.

Pasal 106

Ayat (1)
Penasihat Hukum mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif.
Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 107

Ayat (1)
Apabila Saksi diambil sumpahnya, Penyidik wajib membuat berita acara pengambilan sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Saksi yang dapat menguntungkan Tersangka" antara lain adalah Saksi a de charge.
Ayat (4)
Cukup jelas


Pasal 108

Cukup jelas

Pasal 109

Apabila penyidikan di luar daerah hukumnya dilakukan oleh Penyidik semula, ia wajib didampingi oleh Penyidik dari
daerah hukum di tempat penyidikan itu dilakukan.

Pasal 110

Cukup jelas

Pasal 111

Cukup jelas

Pasal 112

Cukup jelas

Pasal 113

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penghuni" adalah bisa Tersangka baik ia sebagai pemilik rumah maupun bukan, bisa
keluarga Tersangka, pemilik atau orang lain yang tinggal bersama Tersangka dalam waktu yang relatif lama.
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 114

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penutupan tempat yang bersangkutan" adalah tindakan pembatasan sementara kebebasan
keluar masuknya orang di tempat penggeledahan selama penggeledahan berlangsung.
Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 115

Ayat (1)
Penyidik yang melakukan penyitaan terlebih dahulu memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang atau
keluarganya dari siapa benda tersebut disita dan dapat minta keterangan tentang benda tersebut dengan disaksikan
oleh kepala desa, lurah atau ketua lingkungan termasuk komandan asrama/ kompleks Angkatan Bersenjata dengan 2
(dua) orang Saksi. Atas pelaksanaan penyitaan, Penyidik membuat berita acara yang sebelum ditandatangani oleh
masing-masing terlebih dahulu dibacakan kepada orang atau keluarganya dari siapa benda tersebut disita, atau
memberi kesempatan kepadanya untuk membaca berita acara. Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat mengenai
berat dan jumlah menurut jenis masing-masing, ciri-ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan,
identitas orang dari mana benda tersebut disita, dan lain-lainnya yang kemudian diberi lak dan cap jabatan dan
ditandatangani oleh Penyidik. Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, Penyidik memberikan catatan seperti
tersebut di atas, yang ditulis pada tanda sitaan yang ditempelkan pada benda tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 116

Cukup jelas

Pasal 117

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pejabat penyimpan umum" antara lain adalah pejabat yang berwenang dari Lembaga Arsip
Nasional, Catatan Sipil, Balai Harta Peninggalan, Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.



Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 118

Cukup jelas

Pasal 119

Cukup jelas

Pasal 120

Yang dimaksud dengan "penggalian mayat" termasuk pengambilan mayat dari semua jenis tempat dan cara
penguburan.

Pasal 121

Cukup jelas

Pasal 122

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pejabat-pejabat di lingkungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Udara, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang setingkat dengan jabatan Komandan Komando Resor Militer
disesuaikan dengan ketentuan tingkat-tingkat jabatan (nevelering) yang berlaku di lingkungan Angkatan Bersenjata.


Pasal 123

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "upaya paksa" adalah upaya menghadapkan seseorang di luar kemauannya kehadapan
Penyidik.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Penyerahan perkara kepada Pengadilan yang berwenang mengandung maksud memerintahkan Oditur supaya perkara
tersebut dilakukan penuntutan di persidangan Pengadilan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
"Perkara ditutup demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer" berarti perkara yang bersangkutan
dihentikan penyidikannya atau dihentikan penuntutannya dan perkaranya tidak diserahkan ke Pengadilan.
Perkara ditutup demi kepentingan hukum antara lain karena tidak terdapat cukup bukti, bukan merupakan tindak
pidana, perkaranya kedaluwarsa, Tersangka/Terdakwa meninggal dunia, nebis in idem, telah dibayarkannya
maksimum denda yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang ancaman
pidananya berupa denda saja, atau dalam delik aduan pengaduannya sudah dicabut.
Perkara ditutup demi kepentingan umum/militer adalah perkara tidak diserahkan ke Pengadilan karena kepentingan
negara, kepentingan masyarakat/umum dan/atau kepentingan militer lebih dirugikan dari pada apabila perkara itu
diserahkan ke Pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan wewenang penyerahan perkara sehari-hari
dilakukan oleh Oditur Jenderal.

Pasal 124

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Permintaan Oditur kepada Penyidik untuk melengkapi persyaratan formal dilakukan secara tertulis atau lisan.
Ayat (3)
Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk Oditur dan menyampaikan kembali
berkas perkara.
Ayat (4)



Dalam hal perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan, pemeriksaan Tersangka dengan bentuk Berita
Acara Pemeriksaan Tersangkanya tidak dimungkinkan. Oleh karena itu surat panggilan dan Berita Acara tidak
diketemukannya Tersangka, menjadi kelengkapan persyaratan berkas perkara untuk keperluan pemeriksaan perkara
tanpa hadirnya Terdakwa (in absensia).

Pasal 125

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Jawaban tertulis dari Perwira Penyerah Perkara yang berisi pertimbangan terhadap pendapatnya akan menjadi dasar
pengajuan perbedaan pendapatnya dengan Oditur ke Pengadilan Militer Utama untuk diputuskannya.


Pasal 126

Ayat (1)
Huruf a
Surat Keputusan Penyerahan Perkara diserahkan kepada Pengadilan yang berwenang melalui Oditur sebagai dasar
pelimpahan dan penuntutan perkara yang bersangkutan di persidangan Pengadilan dan tembusannya diserahkan
kepada Tersangka.
Huruf b
Surat Keputusan tentang penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit diserahkan kepada Atasan yang Berhak
Menghukum melalui Oditur supaya Atasan yang Berhak Menghukum menjatuhkan hukuman disiplin Prajurit.
Huruf c
Surat Keputusan Penutupan Perkara diserahkan kepada Oditur sebagai dasar penyelesaian perkara yang
tembusannya disampaikan kepada Atasan yang Berhak Menghukum, Penyidik, Tersangka, atau Penasihat
Hukumnya.
Dalam hal Tersangka ditahan, Oditur wajib segera membebaskannya dan apabila terdapat barang bukti, Oditur wajib
segera mengembalikannya kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau
kepada mereka yang paling berhak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 127

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "wajib" adalah Perwira Penyerah Perkara yang bersangkutan tidak boleh menolak untuk
mengirimkan permohonan Oditur.
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 128

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tindak pidana yang bersangkutpaut satu dengan yang lain" adalah apabila tindak pidana
tersebut dilakukan:
1) oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
2) oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan

jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;
3) oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak

pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain tetapi satu
dengan yang lain itu ada hubungannya" adalah bahwa masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri
dan terpisah satu dengan yang lain, tetapi karena menyangkut objek atau perbuatan yang sama atau berkaitan, tindak
pidana yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya.

Pasal 129

Cukup jelas

Pasal 130

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal Terdakwanya sipil, yang dimaksud dengan "jabatan" adalah pekerjaan. Mengenai pangkat, nomor
registrasi pusat dan kesatuan tidak diberlakukan kepadanya.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (3)


Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 131

Cukup jelas

Pasal 132

Pelimpahan perkara berlaku terhitung sejak berkas perkara diterima dan diregistrasi oleh Pengadilan.

Pasal 133

Cukup jelas

Pasal 134

Cukup jelas

Pasal 135

Cukup jelas

Pasal 136

Cukup jelas

Pasal 137

Ayat (1)
Huruf a
Kewenangan menahan beralih kepada Pengadilan dan berlaku sejak berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan dan
diregistrasi.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 138

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kepentingan pemeriksaan" adalah pemeriksaan yang belum dapat diselesaikan dalam waktu
penahanan yang ditentukan.
Yang dimaksud dengan "gangguan fisik atau mental yang berat" adalah gangguan kesehatan fisik dan mental
Terdakwa yang tidak memungkinkan untuk diperiksa di persidangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas


Pasal 139

Cukup jelas

Pasal 140

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "orang lain" adalah keluarga atau Penasihat Hukum Terdakwa.
Ayat (4)
Cukup jelas


Pasal 141

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas


Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan "jawaban secara tidak bebas" adalah jawaban yang diberikan tidak berdasarkan kemauannya
sendiri karena adanya rasa ketakutan atau tertekan akibat adanya tekanan atau paksaan atau ancaman dari yang
memeriksa.
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas


Pasal 142

Ayat (1)
Pengawalan adalah tindakan pengamanan terhadap diri Terdakwa sesuai dengan tata tertib persidangan dan
dimaksudkan supaya tidak melarikan diri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kehadiran Terdakwa di persidangan merupakan kewajiban baginya sehingga Terdakwa harus hadir di persidangan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas


Pasal 143

Yang dimaksud dengan "pemeriksaan tanpa hadirnya Terdakwa dalam pengertian in absensia" adalah pemeriksaan
yang dilaksanakan supaya perkara tersebut dapat diselesaikan dengan cepat demi tetap tegaknya disiplin Prajurit
dalam rangka menjaga keutuhan pasukan, termasuk dalam hal ini pelimpahan perkara yang Terdakwanya tidak pernah
diperiksa karena sejak awal melarikan diri dan tidak diketemukan lagi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan berturutturut,
untuk keabsahannya harus dikuatkan dengan surat keterangan dari Komandan atau Kepala Kesatuannya.
Penghitungan tenggang waktu 6 (enam) bulan berturut-turut terhitung mulai tanggal pelimpahan berkas perkaranya
ke Pengadilan.

Pasal 144

Ayat (1)
Dalam hal Terdakwanya sipil yang dimaksud dengan "pangkat, jabatan, nomor registrasi pusat dan kesatuan", lihat
Penjelasan Pasal 130 ayat (2) huruf a.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal keadaan tertentu yang tidak memungkinkan Terdakwa berdiri dengan sikap sempurna, Hakim Ketua dapat
menentukan lain.
Ayat (4)
Cukup jelas


Pasal 145

Cukup jelas

Pasal 146

Cukup jelas

Pasal 147

Cukup jelas

Pasal 148

Cukup jelas

Pasal 149

Cukup jelas

Pasal 150

Cukup jelas

Pasal 151

Cukup jelas

Pasal 152


Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ayat ini adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi saling mempengaruhi diantara para
Saksi, sehingga keterangan Saksi tidak dapat diberikan secara bebas.
Ayat (2)
Menjadi Saksi adalah salah satu kewajiban hukum setiap orang. Orang yang menjadi Saksi ke suatu sidang
Pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana
berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli.


Pasal 153

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Pasal 154

Ayat (1)

Huruf a

1)
Pengawalan adalah tindakan pengamanan terhadap diri Saksi sesuai dengan tata tertib persidangan.

2)
Dalam hal Saksi berstatus sebagai Tersangka, Terdakwa, atau narapidana dalam perkaranya sendiri, pengawalan
dimaksud-kan untuk mencegah Saksi melarikan diri.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "pertimbangan Hakim Ketua" adalah termasuk mempertimbangkan apakah Saksi korban atau

Saksi lainnya yang akan didengar keterangannya terlebih dahulu.

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam hal Saksi sipil, yang dimaksud dengan "jabatan" adalah pekerjaan. Mengenai pangkat, nomor registrasi pusat

dan kesatuan tidak diberlakukan kepadanya.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan Saksi pada ayat ini termasuk Saksi ahli.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 155

Cukup jelas

Pasal 156

Cukup jelas

Pasal 157

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pertanyaan dapat ditolak Hakim Ketua, apabila pertanyaan tersebut diajukan tidak berhubungan dengan perkara.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas


Pasal 158

Ayat (1)
Untuk melancarkan jalannya pemeriksaan Saksi, dalam hal Hakim Ketua menganggap bahwa Saksi yang sudah
didengar keterangannya mungkin akan merugikan Saksi berikutnya yang akan memberikan keterangan, sehingga
perlu Saksi pertama tersebut untuk sementara diperintahkan ke luar dari ruang sidang selama Saksi berikutnya masih
didengar keterangannya.
Ayat (2)
Apabila Terdakwa atau Oditur keberatan terhadap dikeluarkannya Saksi dari ruang sidang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), misalnya diperlukan kehadiran Saksi tersebut supaya ia dapat ikut mendengarkan keterangan yang
diberikan oleh Saksi berikutnya demi kesempurnaan hasil keterangan Saksi, keberatan tersebut tidak diterima.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas


Pasal 159

Cukup jelas

Pasal 160

Cukup jelas

Pasal 161

Ayat (1)
Jabatan atau pekerjaan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Apabila tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang
dimaksud, seperti yang ditentukan pada ayat ini Hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan
untuk mendapatkan kebebasan tersebut.


Pasal 162

Mengingat bahwa anak yang belum berumur 15 (lima belas) tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa,
sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psikopat, mereka ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam
memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

Pasal 163

Ayat (1)
Apabila menurut pendapat Hakim seorang Saksi itu akan merasa tertekan atau tidak bebas dalam memberikan
keterangan apabila Terdakwa hadir dalam sidang, untuk menjaga hal yang tidak diinginkan, Hakim dapat
memerintahkan supaya Terdakwa dikeluarkan untuk sementara dari persidangan selama Hakim mengajukan
pertanyaan kepada Saksi.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 164

Cukup jelas

Pasal 165

Cukup jelas

Pasal 166

Cukup jelas

Pasal 167

Cukup jelas

Pasal 168

Cukup jelas

Pasal 169

Yang dimaksud dengan:

a. "pertanyaan yang bersifat menjerat" adalah pertanyaan yang dapat memperdaya Terdakwa atau Saksi, sehingga
baik Terdakwa maupun Saksi yang diperiksa tidak ada pilihan lain, kecuali menerangkan sesuatu sesuai dengan
yang diinginkan oleh yang memeriksa;
b. "pertanyaan yang mempengaruhi atau bertentangan dengan kehormatan Prajurit" adalah pertanyaan yang
bersifat menekan dengan tanpa mengindahkan kedudukan, pangkat, harga diri, harkat dan martabat Prajurit yang
diperiksa baik sebagai Terdakwa maupun sebagai Saksi, sehingga Prajurit tersebut terpaksa menerangkan
sesuatu di luar kehendaknya.

Pasal 170

Cukup jelas

Pasal 171

Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang.

Pasal 172

Cukup jelas

Pasal 173

Ayat (1)
Dalam keterangan Saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "Hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan" adalah untuk mengingatkan Hakim supaya
memperhatikan keterangan Saksi harus diberikan secara bebas, jujur, dan objektif.
Ayat (7)
Cukup jelas



Pasal 174

Keterangan Ahli ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Oditur yang dituangkan dalam
suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah yang diucapkan pada waktu ia menerima jabatan atau
pekerjaan.
Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Oditur pada pemeriksaan di sidang,
diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
Keterangan tersebut diberikan sesudah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan Hakim.


Pasal 175

Cukup jelas

Pasal 176

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "surat yang dibuat oleh pejabat" adalah termasuk surat yang dikeluarkan oleh suatu majelis
yang berwenang untuk itu.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas

Pasal 177

Cukup jelas

Pasal 178

Ayat (1)
Apabila yang diganti adalah Hakim Ketua, Hakim Ketua yang mengganti harus mendengar kembali secara langsung
keterangan Terdakwa dan Saksi yang pernah diberikan di sidang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila Terdakwa menggunakan Penasihat Hukum dari luar dinas bantuan hukum yang ada di lingkungan Angkatan
Bersenjata dan ternyata berhalangan Terdakwa segera menunjuk penggantinya.


Pasal 179

Cukup jelas

Pasal 180

Cukup jelas

Pasal 181

Tenggang waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini dihitung hari berikutnya sesudah hari pengumuman,
perintah, atau penetapan dikeluarkan.

Pasal 182

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal Terdakwa tidak dapat menulis, Panitera mencatat pembelaannya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Sidang dibuka kembali dimaksudkan untuk menampung fakta tambahan sebagai bahan untuk musyawarah Hakim.


Pasal 183

Ayat (1)
Maksud penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana ini adalah supaya perkara gugatan tersebut pada suatu
ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Yang dimaksud
dengan "kerugian bagi orang lain" adalah termasuk kerugian pihak korban.
Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 184

Cukup jelas

Pasal 185

Cukup jelas

Pasal 186

Cukup jelas

Pasal 187

Cukup jelas

Pasal 188

Ayat (1)
Musyawarah Hakim dilakukan di ruang musyawarah Hakim yang tertutup untuk umum.



Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "termuda" adalah didasarkan atas pengertian atasan bawahan, menurut Hukum Disiplin
Prajurit.
Ayat (4)
Apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat lain dari salah seorang Hakim Majelis dicatat dalam berita acara
sidang majelis yang sifatnya rahasia.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas


Pasal 189

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan" adalah
tidak cukup terbukti menurut penilaian Hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut
ketentuan Undang-undang ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila Terdakwa tetap dikenai penahanan atas dasar alasan lain yang sah, alasan tersebut secara jelas
diberitahukan kepada Kepala Pengadilan tingkat pertama sebagai pengawas dan pengamat terhadap pelaksanaan
putusan Pengadilan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pengembalian perkara kepada Perwira Penyerah Perkara untuk dis elesaikan menurut saluran
Hukum Disiplin Prajurit" adalah apabila dalam persidangan tidak ditemukan fakta bahwa Terdakwa dalam perkara
tersebut belum dijatuhi hukuman disiplin.


Pasal 190

Cukup jelas

Pasal 191

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan mengenai penyerahan barang bukti tersebut misalnya apabila sangat diperlukan untuk mencari nafkah,
seperti kendaraan, alat pertanian dan lain-lain.
Ayat (3)
Penyerahan barang bukti tersebut dapat dilakukan meskipun Putusan Pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum
tetap, tetapi harus disertai syarat tertentu antara lain barang bukti tersebut setiap waktu dapat dihadapkan ke
Pengadilan dalam keadaan utuh.


Pasal 192

Cukup jelas

Pasal 193

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesudah diucapkan, Putusan tersebut berlaku baik bagi Terdakwa yang hadir maupun yang tidak hadir. Ketentuan
bermaksud melindungi kepentingan Terdakwa yang hadir dan menjamin kepastian hukum secara keseluruhan dalam
perkara ini.
Ayat (3)
Dengan pemberitahuan ini dimaksudkan supaya Terdakwa mengetahui haknya.


Pasal 194

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam hal Terdakwanya sipil yang dimaksud dengan "pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan dan kesatuan", lihat
Penjelasan Pasal 130 ayat (2) huruf a.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan fakta dan keadaan di sini ialah segala apa yang ada dan apa yang ditemukan dalam sidang
oleh pihak dalam proses, antara lain Oditur, Saksi, Ahli, Terdakwa, Penasihat Hukum, dan Saksi korban.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas


Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Ayat (2)
Kecuali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, dan huruf h, apabila terjadi kekhilafan dan/atau
kekeliruan dalam penulisan, kekhilafan dan kekeliruan dalam penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya
putusan demi hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 195

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pernyataan rehabilitasi" adalah memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan,
harkat dan martabatnya. Pernyataan rehabilitasi hanya dapat diberikan terhadap putusan bebas dari segala dakwaan
atau lepas dari segala tuntutan hukum kecuali yang ditentukan dalam Pasal 189 ayat (4).
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 196

Cukup jelas

Pasal 197

Cukup jelas

Pasal 198

Cukup jelas

Pasal 199

Cukup jelas

Pasal 200

Cukup jelas

Pasal 201

Cukup jelas

Pasal 202

Cukup jelas

Pasal 203

Cukup jelas

Pasal 204

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dan terakhir" adalah putusan yang
sudah dijatuhkan tidak dapat dimintakan upaya hukum banding tetapi dapat diajukan kasasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas


Pasal 205

Huruf a
Yang dimaksud dengan "pengetahuan Hakim" adalah hal apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh Hakim di
luar sidang mengenai hal-hal yang bersangkutpaut dengan perkara yang disidangkannya dan karenanya diyakini
kebenarannya.
Huruf b


Surat keterangan yang dibuat atas sumpah oleh pejabat yang bersangkutan tersebut memuat antara lain jenis barang,
jumlah barang, tempat, serta waktu penyitaan dan/atau ditemukan.

Pasal 206

Cukup jelas

Pasal 207

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hukuman mati tidak dapat dijalankan sebelum keputusan Presiden diterima oleh Kepala Oditurat.
Adapun pelaksanaan pidana mati dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.


Pasal 208

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Prosedur permohonan grasi adalah sebagai berikut:

a. permohonan grasi disampaikan kepada Pengadilan yang sudah memutus pada tingkat pertama, untuk
selanjutnya berkas perkara yang dimintakan grasi diteruskan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan
Militer Utama;
b. Pengadilan Militer Utama, sesudah menerima berkas perkara yang dimintakan grasi, melengkapi pendapat dan
pertimbangan hukum sesudah mendengar pendapat Oditur Jenderal untuk selanjutnya diteruskan kepada
Mahkamah Agung;
c. Mahkamah Agung segera meneruskan berkas perkara yang dimintakan grasi tersebut kepada Presiden melalui
Menteri Kehakiman.

Pasal 209

Cukup jelas

Pasal 210

Cukup jelas

Pasal 211

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perkara pelanggaran tertentu" adalah:


a.
menggunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban dan keamanan lalu lintas, atau
yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan;
b.
mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperli-hatkan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda
nomor kendaraan, surat tanda uji kendaraan yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan atau ia dapat memperlihatkannya tetapi
masa berlakunya sudah kedaluwarsa;
c.
membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemu-dikan oleh orang yang tidak memiliki surat izin
mengemudi;
d.
tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan tentang penomoran,
penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain;
e.
membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai
dengan surat tanda nomor kendaraan yang bersangkutan;
f.
pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan, dan/atau isyarat alat
pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu/marka jalan atau tanda yang ada di permukaan jalan;
g.
pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diizinkan, cara menaikkan dan menurunkan
penumpang, dan/atau cara memuat dan membongkar barang; atau
h. pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan yang ditentukan.
Ayat (2)
Berita acara pelanggaran lalu lintas berisi identitas Tersangka, tempat dan waktu terjadinya pelanggaran lalu lintas
dan angkutan jalan, jenis pelanggaran dan pasal yang dilanggar, serta ditandatangani oleh Tersangka dan Penyidik.
Surat dakwaan sekaligus berisi tuntutan pidana yang ditandatangani oleh Oditur.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Petikan surat keputusan segera disampaikan kepada Terpidana melalui Oditur dan dicatat dalam buku perkara dan
berita acara sidang. Bukti bahwa Oditur sudah menyampaikannya kepada Terpidana dikirim kepada Panitera.
Ayat (5)
Permohonan banding dari Terdakwa diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari sesudah putusan diucapkan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)

Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas

Pasal 212

Yang dimaksud dengan "alat bukti" adalah alat bukti surat yang berupa berita acara pelanggaran lalu lintas.

Pasal 213

Cukup jelas

Pasal 214

Cukup jelas

Pasal 215

Cukup jelas

Pasal 216

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bantuan hukum yang diberikan atas perintah" adalah bantuan hukum yang diberikan oleh
dinas bantuan hukum yang ada di lingkungan Angkatan Bersenjata, sedangkan yang dimaksud dengan "bantuan
hukum yang dengan seizin dari Perwira Penyerah Perkara" adalah bantuan hukum yang disediakan oleh Terdakwa
sendiri dari luar dinas bantuan hukum yang ada di lingkungan Angkatan Bersenjata.
Ayat (2)
Dalam hal perkara koneksitas disidangkan di Pengadilan, Penasihat Hukum yang mendampingi Terdakwa sipil di
samping harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya, juga harus seizin Kepala
Pengadilan menurut Undang-undang ini.

Pasal 217

Cukup jelas

Pasal 218

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengawasan" adalah melihat hubungan dan/atau mendengar isi pembicaraan antara
Penasihat Hukum dengan Tersangka atau Terdakwa. Pengawasan dilakukan oleh Penyidik, Oditur, atau petugas
Rumah Tahanan Militer.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "menyalahgunakan haknya" adalah menggunakan hak menghubungi dan berbicara dengan
Tersangka atau Terdakwa untuk kepentingan lain selain kepentingan pembelaan perkara yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 219

Cukup jelas

Pasal 220

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengumuman dilaksanakan melalui papan pengumuman Pengadilan yang memutus atau melalui surat kabar.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas


Pasal 221

Cukup jelas

Pasal 222

Cukup jelas

Pasal 223

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "selama 7 (tujuh) hari" adalah waktu yang diberikan kepada Terdakwa dan/atau Oditur untuk
mempelajari berkas perkara, dihitung mulai hari berikutnya sesudah yang bersangkutan menyatakan banding.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas


Pasal 224

Cukup jelas


Pasal 225

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Apabila dalam perkara pidana Terdakwa menurut undang-undang dapat ditahan, sejak permintaan banding diajukan,
Pengadilan Militer Tinggi/Pengadilan Militer Utama yang menentukan ditahan atau tidaknya.
Apabila penahanan yang dikenakan kepada Terdakwa mencapai tenggang waktu yang sama dengan pidana yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi kepadanya, ia harus dibebaskan seketika itu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas


Pasal 226

Cukup jelas

Pasal 227

Ayat (1)
Perbaikan dalam hal ada kelalaian dalam penerapan hukum acara harus dilakukan sendiri oleh Pengadilan tingkat
pertama yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 228

Cukup jelas

Pasal 229

Cukup jelas

Pasal 230

Cukup jelas

Pasal 231

Cukup jelas

Pasal 232

Cukup jelas

Pasal 233

Cukup jelas

Pasal 234

Cukup jelas

Pasal 235

Cukup jelas

Pasal 236

Cukup jelas

Pasal 237

Cukup jelas

Pasal 238

Cukup jelas

Pasal 239

Cukup jelas

Pasal 240

Cukup jelas

Pasal 241

Cukup jelas

Pasal 242

Cukup jelas

Pasal 243

Cukup jelas

Pasal 244

Cukup jelas

Pasal 245

Ayat (1)
Permohonan kasasi demi kepentingan hukum merupakan kewenangan yang melekat pada Oditur Jenderal selaku
pimpinan dan penanggung jawab tertinggi penuntutan di lingkungan Angkatan Bersenjata.
Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 246

Cukup jelas

Pasal 247

Cukup jelas

Pasal 248


Pasal ini memuat alasan secara limitatif untuk dapat dipergunakan meminta peninjauan kembali suatu putusan perkara
pidana yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 249

Cukup jelas

Pasal 250

Cukup jelas

Pasal 251

Cukup jelas

Pasal 252

Cukup jelas

Pasal 253

Cukup jelas

Pasal 254

Cukup jelas

Pasal 255

Cukup jelas

Pasal 256

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pidana kurungan" adalah termasuk kurungan pengganti denda.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 257

Cukup jelas

Pasal 258

Cukup jelas

Pasal 259

Cukup jelas

Pasal 260

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "secara berimbang" adalah pembebanan ganti rugi kepada para Terpidana seimbang
berdasarkan penilaian Hakim.


Pasal 261

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tenggang waktu 1 (satu) bulan" adalah waktu selama 30 (tiga puluh) hari dihitung hari
berikutnya sesudah putusan dijatuhkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 262

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "pengawasan oleh Atasan yang Berhak Menghukum" adalah pengawasan pelaksanaan
pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada Terpidana yang berada di bawah wewenang komandonya.
Ayat (7)
Cukup jelas


Pasal 263

Cukup jelas

Pasal 264

Cukup jelas

Pasal 265

Ayat (1)


Hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subjek hukum saja yang dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Angkatan Bersenjata untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata. Badan atau pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Angkatan Bersenjata untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Selanjutnya hanya
orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum keputusan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata tersebut. Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis karena gugatan
itu akan menjadi pegangan Pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Mereka yang tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada Panitera Pengadilan
yang akan membantu merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.
Berbeda dengan gugatan di muka pengadilan perdata, hal yang dapat dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha
Angkatan Bersenjata ini terbatas pada 1 (satu) macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan supaya keputusan Tata
Usaha Angkatan Bersenjata yang sudah merugikan kepentingan Penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah.
Tuntutan tambahan yang dibolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam sengketa urusan
administrasi Prajurit sajalah dibolehkan adanya tuntutan tambahan lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi.
Ayat (2)
Ketentuan-ketentuan pada ayat ini:

a.
memberikan petunjuk kepada Penggugat dalam menyusun gugatannya supaya dasar gugatan yang diajukan itu
mengarah kepada alasan yang dimaksudkan pada huruf a, huruf b, dan huruf c;
b.
merupakan dasar pengujian dan dasar pembatalan bagi pengadilan dalam menilai apakah Keputusan Tata Usaha
Angkatan Bersenjata yang digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian keputusan yang
digugat itu perlu dinyatakan batal atau tidak.
Suatu Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata dapat dinilai "bertentangan dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku" apabila keputusan yang bersangkutan itu:

a.
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat
prosedural/formal.
Contoh: Sebelum keputusan pemberhentian tidak dengan hormat dikeluarkan seharusnya Prajurit yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
b.
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat
materiil/substansial.
Contoh: Keputusan di tingkat banding administratif, yang sudah salah menyatakan gugatan Penggugat
diterima atau tidak diterima.
c.
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang tidak berwenang.
Contoh: Peraturan dasarnya sudah menunjuk pejabat lain yang berwenang untuk mengambil keputusan.
Dasar pembatalan ini sering disebut penyalahgunaan wewenang. Setiap penentuan norma-norma hukum di dalam tiap
peraturan itu tentu dengan tujuan dan maksud tertentu.
Oleh karena itu, penerapan ketentuan tersebut harus selalu sesuai dengan tujuan dan maksud khusus diadakannya
peraturan yang bersangkutan. Dengan demikian, peraturan yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk diterapkan
guna mencapai hal-hal yang di luar maksud tertentu. Dengan begitu wewenang materiil Badan atau
Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata juga terbatas pada ruang lingkup maksud bidang khusus yang sudah ditentukan dalam peraturan
dasarnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "upaya administrasi" adalah upaya mengajukan keberatan dan memperoleh keputusan dari
Badan/Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan.
Ayat (4)
Upaya administrasi yang akan diatur dengan Keputusan Panglima adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh
seorang Prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit apabila ia tidak menerima Keputusan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan Angkatan Bersenjata, dalam bentuk penyelesaian yang
harus dilakukan oleh atasan Badan/Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang mengeluarkan keputusan yang
tidak diterima.

Pasal 266

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tempat kedudukan Tergugat" adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat
kedudukan menurut hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila tempat kedudukan tergugat berada di luar daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi tempat kediaman
Penggugat, gugatan dapat disampaikan kepada Pengadilan Militer Tinggi tempat kediaman Penggugat untuk
diteruskan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan. Tanggal diterimanya gugatan oleh Panitera
Pengadilan Tinggi Militer tersebut dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada Pengadilan Militer Tinggi
yang berwenang. Panitera Pengadilan Tinggi tersebut berkewajiban memberikan petunjuk secukupnya kepada
Penggugat mengenai gugatan Penggugat tersebut. Sesudah gugatan itu ditandatangani oleh Penggugat atau
kuasanya, atau dibubuhi cap jempol Penggugat yang tidak pandai baca tulis, dan dibayar uang muka biaya perkara,
Panitera yang bersangkutan:


a. mencatat gugatan tersebut dalam daftar perkara khusus untuk itu;
b. memberikan tanda bukti pembayaran uang muka biaya perkara dan mencantumkan nomor registrasi perkara yang
bersangkutan;
c. meneruskan gugatan tersebut kepada Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan.

Cara pengajuan gugatan tersebut di atas tidak mengurangi kompetensi relatif Pengadilan Militer Tinggi yang
berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan gugatan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Penggugat yang berada di luar negeri dapat mengajukan gugatannya dengan surat atau menunjuk seseorang yang
diberi kuasa yang berada di Indonesia.
Ayat (6)
Cukup jelas


Pasal 267

Cukup jelas

Pasal 268

Ayat (1)
Dalam hal Penggugatnya orang sipil yang dimaksud dengan "pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan dan kesatuan",
lihat Penjelasan Pasal 130 ayat (2) huruf a.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam kenyataan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang hendak disengketakan itu mungkin tidak ada
dalam tangan Penggugat. Dalam hal keputusan itu ada padanya, untuk kepentingan pembuktian, ia harus
melampirkan pada gugatan yang diajukan. Tetapi, baik Penggugat yang tidak memiliki Keputusan Tata Usaha
Angkatan Bersenjata yang bersangkutan maupun pihak ketiga yang terkena akibat hukum keputusan tersebut tentu
tidak mungkin melampirkan pada gugatan terhadap keputusan yang hendak disengketakan itu.
Dalam rangka pemeriksaan persiapan, Hakim selalu dapat meminta kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan
Bersenjata yang bersangkutan untuk mengirimkan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang sedang
disengketakan itu kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang.
Dengan kata "sedapat mungkin" tersebut ditampung semua kemungkinan termasuk apabila tidak ada keputusan yang
dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3.
Ayat (4)
Cukup jelas


Pasal 269

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Surat kuasa dalam ayat ini dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara tempat surat kuasa tersebut
dibuat.
Ayat (5)
Cukup jelas


Pasal 270

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "uang muka biaya perkara" adalah biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai uang panjar oleh
pihak Penggugat terhadap perkiraan biaya yang diperlukan dalam proses berperkara seperti biaya kepaniteraan, biaya
meterai, biaya saksi, biaya ahli, biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruang sidang, dan biaya lain
yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim.
Uang muka biaya perkara tersebut akan diperhitungkan embali kalau perkaranya sudah selesai. Dalam hal Penggugat
kalah dalam perkara dan ternyata masih ada kelebihan uang muka biaya perkara, uang kelebihan tersebut akan
dikembalikan kepadanya.
Apabila ternyata uang muka biaya perkara tersebut tidak mencukupi, ia wajib membayar kekurangannya. Sebaliknya,
dalam hal Penggugat menang dalam perkara, uang muka biaya perkara dikembalikan seluruhnya kepadanya.
Uang muka biaya perkara yang harus dibebankan kepada Penggugat tersebut di atas hendaknya ditetapkan serendah
mungkin sehingga dapat dipikul oleh Penggugat selaku pencari keadilan. Ketentuan tentang pembayaran uang muka
biaya perkara dalam pasal ini berlaku juga dalam hal gugatan yang diajukan menurut Pasal 266 ayat (3).
Ayat (2)
Sesudah pembayaran uang muka biaya perkara dipenuhi, kepada Penggugat diberikan tanda bukti penerimaan yang
berisi nomor registrasi perkara serta jumlah uang muka biaya perkara yang sudah dibayarkan.
Pembayaran biaya perkara diwajibkan bagi mereka yang mampu.
Ayat (3)
Cukup jelas



Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 271

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Atasan Penggugat yang dimaksud pada ayat ini adalah Komandan/Kepala dari Kesatuan Administrasi Pangkal
setingkat Komandan Batalyon.
Ayat (3)
Ketidakmampuan ini ditentukan oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi berdasarkan penilaiannya yang obyektif.


Pasal 272

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal permohonan bersengketa dengan cuma-cuma dikabulkan, Pengadilan Militer Tinggi mengeluarkan
penetapan yang salinannya diberikan kepada Pemohon dan biaya perkara ditanggung oleh Negara.
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 273

Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pokok gugatan" adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan.
Atas dasar fakta tersebut Penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu dan oleh karena itu
mengajukan tuntutannya.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "surat pos tercatat" termasuk penyampaian melalui caraka atau sejenisnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 274

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesudah menerima salinan surat gugatan, Tergugat dapat mengirim jawaban secara tertulis kepada Pengadilan dan
salinannya dikirim juga kepada Penggugat. Pengiriman surat jawaban atas gugatan Penggugat oleh Tergugat tersebut
tidak mengurangi kewajiban Tergugat hadir di persidangan.


Pasal 275

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan surat pos tercatat yang ditandatangani oleh para pihak atau
kuasanya merupakan tanggal dimulainya perhitungan tenggang waktu minimum antara panggilan dan hari sidang.
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 276

Cukup jelas

Pasal 277

Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Hakim
diberi kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan persiapan sebelum memeriksa pokok sengketa. Dalam


kesempatan ini, Hakim dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang
bersangkutan demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu. Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi
dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari
Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata mengingat bahwa kedudukan Penggugat dan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak sama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Karena tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a itu tidak bersifat memaksa, Hakim tentu akan
berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja menyatakan bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima kalau
Penggugat baru sekali diberi kesempatan untuk memperbaiki gugatannya.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 278

Berbeda dengan Hukum Acara Perdata, dalam Hukum Acara Tata Usaha Militer, Badan atau Pejabat Tata Usaha
Angkatan Bersenjata itu selalu berkedudukan sebagai pihak yang mempertahankan keputusan yang sudah
dikeluarkannya terhadap tuduhan Penggugat bahwa keputusan yang digugat itu melawan hukum. Akan tetapi,
selama hal itu belum diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi, Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata itu harus
dianggap sah menurut hukum. Proses di muka Pengadilan Militer Tinggi memang dimaksudkan untuk menguji apakah
dugaan bahwa Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak.
Itulah dasar Hukum Acara Tata Usaha Militer yang bertolak dari anggapan bahwa Keputusan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata itu selalu menurut hukum. Dari segi perlindungan hukum, Hukum Acara Tata Usaha Militer merupakan
sarana hukum untuk menolak anggapan tersebut dalam keadaan konkret. Oleh karena itu, pada asasnya selama hal
tersebut belum diputuskan oleh Pengadilan Militer Tinggi, Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang
digugat itu tetap dianggap menurut hukum dapat dilaksanakan. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, Penggugat
dapat mengajukan permohonan supaya selama proses berjalan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata yang digugat itu diperintahkan untuk ditunda.
Pengadilan Militer Tinggi akan mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata tersebut hanya apabila:

a. terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu apabila kerugian yang akan diderita Penggugat akan sangat tidak
seimbang dibanding dengan manfaat bagi kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan Keputusan Tata
Usaha Angkatan Bersenjata tersebut; atau
b. Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu tidak ada sangkut pautnya dengan
kepentingan militer dalam rangka menunjang kepentingan pertahanan keamanan negara.

Pasal 279

Cukup jelas

Pasal 280

Cukup jelas

Pasal 281

Cukup jelas

Pasal 282

Cukup jelas

Pasal 283

Cukup jelas

Pasal 284

Perubahan gugatan diperkenankan hanya dalam arti menambah alasan yang menjadi dasar gugatan sampai dengan
tingkat replik. Penggugat tidak boleh menambah tuntutannya yang akan merugikan tergugat di dalam pembelaannya.
Jadi yang diperkenankan ialah perubahan yang bersifat mengurangi tuntutan semula. Sebagaimana hal nya dengan
Penggugat, Tergugat pun dapat mengubah alasan yang menjadi dasar jawabannya hanya sampai dengan tingkat
duplik. Pembatasan ini dimaksudkan supaya dapat diperoleh kejelasan tentang hal yang menjadi pokok sengketa
antara para pihak.

Pasal 285

Cukup jelas

Pasal 286

Cukup jelas

Pasal 287

Cukup jelas

Pasal 288

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Pejabat Pengadilan yang berwenang" adalah Pejabat yang secara hirarkis berkedudukan
lebih tinggi dari pada Hakim yang bersangkutan;
Misalnya :



Apabila sengketa diadili oleh Hakim Pengadilan Militer Tinggi, Pejabat yang berwenang adalah Kepala Pengadilan
Militer Tinggi. Apabila sengketa diadili oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi, Pejabat yang berwenang adalah
Kepala Pengadilan Militer Utama.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 289

Ketentuan ini menunjukkan bahwa peranan Hakim Ketua dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata adalah aktif dan menentukan serta memimpin jalannya persidangan supaya pemeriksaan tidak berlarutlarut.
Oleh karena itu, cepat atau lambatnya penyelesaian sengketa tidak semata-mata bergantung pada kehendak para
pihak, tetapi Hakim harus selalu memperhatikan kepentingan militer dan kepentingan umum yang tidak boleh terlalu
lama dihambat oleh adanya sengketa itu.

Pasal 290

Para pihak dapat mempelajari berkas perkara sebelum, selama, atau sesudah pemeriksaan, dan pemutusan perkara.

Pasal 291

Cukup jelas

Pasal 292

Ayat (1)
Ayat ini mengatur kemungkinan bagi orang atau badan hukum perdata yang berada di luar pihak yang sedang
berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.
Masuknya pihak ketiga tersebut dalam hal sebagai berikut:


a.
pihak ketiga itu dengan kemauan sendiri ingin mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya supaya ia
jangan sampai dirugikan oleh putusan Pengadilan Militer Tinggi dalam sengketa yang sedang berjalan.
Untuk itu, ia harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan serta hal yang dituntutnya. Putusan
sela Pengadilan Militer Tinggi atas permohonan tersebut dimasukkan dalam Berita Acara Sidang.
Apabila permohonan itu dikabulkan, ia di pihak ketiga akan berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam
proses perkara itu dan disebut Penggugat Intervensi.
Apabila permohonan itu tidak dikabulkan, terhadap putusan sela Pengadilan Militer Tinggi itu tidak dapat
dimohonkan banding. Sudah tentu pihak ketiga tersebut masih dapat mengajukan gugatan baru di luar proses
yang sedang berjalan asalkan ia dapat menunjukkan bahwa ia berkepentingan untuk mengajukan gugatan itu dan
gugatannya memenuhi syarat.
Contoh : B istri Kapten A menggugat Panglima Komando Daerah Militer supaya surat izin kawin yang kedua
dengan wanita C dibatalkan dengan alasan persyaratan, yaitu surat persetujuan dari B selaku istri dan surat keterangan
dokter yang dibuat oleh Dokter N yang menyatakan bahwa B tidak dapat melahirkan keturunan adalah
palsu. C yang mengetahui adanya gugatan dari B, dengan kehendak sendiri, ingin membela atau
mempertahankan kepentingannya sebagai istri sah Kapten A, yaitu supaya ia jangan sampai dirugikan oleh
Putusan Peradilan Militer Tinggi dalam sengketa yang sedang berjalan. Untuk itu, C mengajukan permohonan
yang disertai dengan alasan dari hal yang dituntut.
Apabila permohonannya dikabulkan, C sebagai pihak ketiga akan berkedudukkan sebagai pihak yang mandiri
dalam proses perkara itu dan disebut Penggugat Intervensi.
b.
Adakalanya masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan karena permintaan salah satu
pihak (Penggugat atau Tergugat).
Disini pihak yang memohon agar pihak ketiga itu diikutsertakan dalam proses perkara, dengan maksud supaya
pihak ketiga selama proses tersebut bergabung dengan dirinya untuk memperkuat posisi hukum dalam
sengketanya.
Contoh : B istri Kapten A menggugat Panglima Komando Daerah Militer supaya surat izin kawin Kapten A
dengan wanita C dibatalkan karena surat persetujuan dari B selaku istri dan surat keterangan dokter yang dibuat
oleh Dokter N yang menyatakan bahwa B tidak dapat melahirkan keturunan adalah palsu. Menurut Dokter N
keterangan yang dibuatnya itu memang benar palsu dan terpaksa dibuat karena dipaksa oleh Kapten A. Untuk
itu, B memohon supaya Dokter N sebagai pihak ketiga untuk diikutsertakan dalam proses perkara. Hal itu
dimaksudkan supaya Dokter N bergabung dengan B untuk memperkuat posisi hukum dalam sengketanya. Dalam
hal itu, Dokter N sebagai pihak ketiga akan berkedudukan sebagai Penggugat Intervensi II karena permintaan
salah satu pihak, yaitu Penggugat.
c.
Masuknya pihak ketiga ke dalam proses perkara yang sedang berjalan dapat terjadi atas prakarsa Hakim yang
memeriksa perkara itu.
Contoh : B istri Kapten A menggugat Panglima Komando Daerah Militer agar surat izin kawin Kapten A
dengan wanita C dibatalkan karena surat persetujuan dari B selaku istri dan surat keterangan dokter yang dibuat
oleh Dokter N yang menyatakan bahwa B tidak dapat melahirkan keturunan adalah palsu. Apabila C tidak
diikutkan dalam proses gugatan B ini akan merugikan kepentingannya. Walaupun C tidak mempunyai keinginan
sendiri untuk memasuki proses gugatan B ini, atas prakarsa Hakim yang memeriksa perkara gugatan B
dimasukkan sebagai pihak ketiga dalam proses perkara sebagai Tergugat Intervensi II.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 293


Cukup jelas

Pasal 294

Cukup jelas

Pasal 295

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Menjadi Saksi adalah salah satu kewajiban hukum setiap orang.
Seseorang yang dipanggil menghadap sidang pengadilan untuk menjadi Saksi tetapi menolak kewajiban itu dapat
dipaksa untuk dihadapkan di persidangan dengan bantuan Polisi Militer/Polisi.
Ayat (3)
Ketentuan ini mengatur pendelegasian wewenang pemeriksaan Saksi. Kepala Pengadilan Militer Tinggi yang
mendelegasikan wewenang itu mencantumkan dalam penetapannya dengan jelas hal atau persoalan yang harus
ditanyakan kepada Saksi oleh Pengadilan Militer Tinggi yang diserahi delegasi wewenang tersebut. Dari pemeriksaan
Saksi tersebut dibuat berita acara yang ditandatangani oleh Hakim dan Panitera Pengadilan Militer Tinggi yang
kemudian dikirimkan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang memberikan delegasi wewenang di atas.


Pasal 296

Ayat (1)
Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh
Hakim Ketua. Saksi yang sudah diperiksa harus tetap di dalam ruang sidang kecuali Hakim Ketua menganggap perlu
mendengar Saksi yang lain di luar kehadiran Saksi yang sudah didengar itu, misalnya apabila Saksi lain yang akan
diperiksa itu berkeberatan memberikan keterangan dengan tetap hadirnya Saksi yang sudah didengar.
Ayat (2)
Dalam hal Saksinya sipil yang dimaksud dengan "pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan dan kesatuan", lihat
Penjelasan Pasal 154 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 297

Cukup jelas

Pasal 298

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan. Martabat yang menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia misalnya kedudukan
seorang pastor yang menerima pengakuan dosa, kedudukan seseorang tokoh pimpinan masyarakat yang banyak
mengetahui rahasia anggota masyarakatnya.
Ayat (2)
Apabila tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan atau jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat ini, Hakimlah yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk pengunduran
diri tersebut. Hakim pulalah yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mengundurkan diri
yang berkaitan dengan martabat.

Pasal 299

Cukup jelas

Pasal 300

Cukup jelas

Pasal 301

Cukup jelas

Pasal 302

Biaya perjalanan pejabat yang dipanggil sebagai Saksi di Pengadilan tidak dibebankan sebagai biaya perkara.

Pasal 303

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum", misalnya Saksi sudah sangat tua, atau
menderita penyakit yang tidak memungkinkannya hadir di persidangan.


Pasal 304

Cukup jelas

Pasal 305

Cukup jelas

Pasal 306

Cukup jelas


Pasal 307

Cukup jelas

Pasal 308

Ayat (1)
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dikaitkan dengan isi tuntutan Penggugat.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata ini dikeluarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 309

Ayat (1)
Kepentingan Penggugat dianggap cukup mendesak apabila menyangkut Keputusan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata yang misalnya berisikan perintah kepada seorang Prajurit untuk mengosongkan rumah dinas yang
ditempatinya. Sebagai kriteria mendesak dapat digunakan alasan-alasan permohonan yang memang dapat diterima.
Dalam hal ini, yang dipercepat bukan hanya pemeriksaannya melainkan juga keputusannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 310

Cukup jelas

Pasal 311

Cukup jelas

Pasal 312

Cukup jelas

Pasal 313

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "termasuk keterangan ahli" adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir.
Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 314

Cukup jelas

Pasal 315

Cukup jelas

Pasal 316

Cukup jelas

Pasal 317

Cukup jelas

Pasal 318

Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem hukum
pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan
tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata dapat menentukan sendiri:

a. apa yang harus dibuktikan;
b. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara, dan hal apa
saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri;
c. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian; dan
d. kekuatan pembuktian bukti yang sudah di ajukan.

Pasal 319

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengertian surat pos tercatat, lihat Penjelasan Pasal 273 ayat (2) huruf b.
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 320

Ayat (1)
Huruf a


Cukup jelas
Huruf b
Dalam hal Penggugatnya orang sipil, yang dimaksud dengan "pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, dan
kesatuan", lihat Penjelasan Pasal 268 ayat (1).
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Panitera" adalah mencakup juga Panitera Pengganti yang membantu Hakim dalam
persidangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 321

Cukup jelas

Pasal 322

Cukup jelas

Pasal 323

Dalam hal ada putusan Pengadilan Militer Tinggi yang bukan putusan akhir, penetapan tentang biaya perkaranya
ditangguhkan, dan dicantumkan dalam amar putusan akhir Pengadilan Militer Tinggi.

Pasal 324

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Panitera hanya boleh memberikan salinan putusan Pengadilan apabila putusan tersebut sudah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Apabila diperlukan, salinan putusan Pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap pada
salinan tersebut harus dibubuhi keterangan "belum memperoleh kekuatan hukum tetap".


Pasal 325

Cukup jelas

Pasal 326

Cukup jelas

Pasal 327

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "14 (empat belas) hari" adalah 14 (empat belas) hari menurut perhitungan tanggal kalender.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "uang muka biaya perkara", lihat Penjelasan Pasal 270 ayat (1).


Pasal 328

Sesuai dengan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, terhadap putusan Pengadilan Militer
Tinggi yang bukan putusan akhir tidak dapat diajukan permintaan pemeriksaan banding secara tersendiri.
Prinsip tersebut selalu berusaha menghindarkan dijatuhkannya putusan Pengadilan Militer Tinggi yang tidak
merupakan putusan akhir.


Pasal 329

Cukup jelas

Pasal 330

Cukup jelas

Pasal 331

Cukup jelas

Pasal 332

Cukup jelas

Pasal 333

Cukup jelas

Pasal 334

Cukup jelas

Pasal 335

Cukup jelas

Pasal 336


Cukup jelas

Pasal 337

Cukup jelas

Pasal 338

Ayat (1)
Meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat
memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan Panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Tenggang waktu 14 (emp at belas) hari dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Tenggang waktu 3 (tiga) bulan tidak bersifat memaksa.
Kepala Pengadilan Tinggi tentu akan berlaku bijaksana sebelum menyurati atasan Pejabat Tata Usaha Angkatan
Bersenjata yang bersangkutan mengenai apa yang dimaksud pada ayat ini.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Dalam hal atasan Tergugat bukan Panglima, Pengadilan Militer Tinggi mengajukan hal itu kepada Presiden melalui
Panglima.
Dalam hal atasan Tergugat adalah Panglima, Pengadilan Militer Tinggi dapat mengajukan hal itu langsung kepada
Presiden.


Pasal 339

Cukup jelas

Pasal 340

Cukup jelas

Pasal 341

Cukup jelas

Pasal 342

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Besarnya ganti rugi ditentukan dengan memperhatikan keadaan yang nyata.


Pasal 343

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Putusan Pengadilan yang berisi kewajiban rehabilitasi hanya terdapat pada sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata dalam bidang administrasi personel. Rehabilitasi ini merupakan pemulihan hak Penggugat dalam
kemampuan, kedudukan, dan harkatnya sebagai Prajurit seperti semula sebelum ada keputusan yang disengketakan.
Dalam pemulihan hak tersebut termasuk juga yang ditimbulkan oleh kemampuan, kedudukan dan harkatnya sebagai
Prajurit. Dalam hal haknya menyangkut suatu jabatan dan pada waktu putusan Pengadilan Jabatan tersebut ternyata
sudah diisi oleh pejabat lain, yang bersangkutan dapat diangkat dalam jabatan lain yang setingkat dengan jabatan
semula.
Akan tetapi, apabila hal itu tidak mungkin, yang bersangkutan akan diangkat kembali pada kesempatan pertama
sesudah ada formasi dalam jabatan yang setingkat atau dapat di tempuh acara kompensasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 339.

Pasal 344

Cukup jelas

Pasal 345

Cukup jelas

Pasal 346

Cukup jelas

Pasal 347

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "petugas keamanan" adalah Polisi Militer. Apabila yang bersangkutan meninggalkan ruang
sidang, petugas wajib mengembalikan benda titipannya.


Pasal 348

Cukup jelas

Pasal 349


Cukup jelas

Pasal 350

Cukup jelas

Pasal 351

Cukup jelas

Pasal 352

Cukup jelas

Pasal 353

Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang selama ini hanya berwenang memeriksa dan mengadili perkara
pidana, berdasarkan Undang-undang ini juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara sengketa Tata Usaha
Angkatan Bersenjata.
Untuk mempersiapkan pelaksanaan kedua kewenangan tersebut di atas, khususnya dalam menyiapkan kemampuan
tenaga Hakim serta penataan kelembagaan dan administrasi peradilannya, Pemerintah perlu melakukan persiapan
yang cukup guna kemapanan terselenggaranya peradilan perkara pidana dan perkara sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata sebaik-baiknya.
Guna mewadahi upaya persiapan tersebut di atas, sementara waktu pelaksanaan ketentuan tentang Hukum Acara
Tata Usaha Militer, penerapannya perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak
Undang-undang ini diundangkan.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3713

Kutipan : MEDIA ELEKTRONIK SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1997